⚠️ DISCLAIMER ⚠️
- Tidak ada kaitannya visualisasi tokoh dengan karakter dalam cerita
- Foto cr; Pinterest
- FiksiHappy Reading, Guys~
Jangan lupa vote, timaaci!⭐⭐⭐
.
.
.
.
.
Jeha menghampiri Arjuna yang kini berada di rooftop rumah sakit. Kakaknya itu tampak kacau dengan pandangan menerawang jauh entah terfokus ke mana. Sejenak, Jeha menghentikan langkah, jadi memandang punggung Juna dengan perasaan berkecamuk.
Pandangan Jeha lalu menurun, beralih mengamati punggung tangan Juna yang dikotori darah, membuat desahan samar seketika mengudara dari mulutnya. Tangan Jeha terangkat, ia perhatikan kotak P3K yang kini dipegangnya -pemberian dari Bunda Juna. Tadi sebelum sampai di sini, Jeha dipesani oleh Maria supaya membantu mengobati luka di punggung tangan Juna.
Mengingat itu membuat kedua sudut bibir Jeha reflek tertarik. Satu hal yang masih dapat ia syukuri, setidaknya ... Juna masih memiliki seorang Bunda yang begitu tulus memberi cinta dan kasih sayang.
Ah sial, mengapa mata Jeha jadi panas begini?
Remaja itu jadi segera menguasai ekspresi, mengusap kasar pelupuk matanya, lalu menggeleng untuk mengenyahkan segala pikiran-pikiran menyedihkan. Dengan mulut mercon dan sorot cerah matanya yang sudah kembali terang, ia segera mendekat dengan langkah riang. Turut berdiri di tepi rooftop, tepat di samping Juna.
"GILA, ADA KETUA OSIS GUE CUYYY!" Celetuknya begitu saja tanpa khawatir akan kena semprot Juna. "Ampun puh sepuh, jangan hukum saya." Sambung Jeha, mengatupkan kedua tangan sembari terkikik sendiri.
Juna di sampingnya sama sekali tak peduli, membuat Jeha meredakan kikikannya dengan bibir mengerucut, sebal. Pakde Limbat aja misal diajakin bercanda juga masih ada respon senyumnya, lah Juna boro-boro senyum, noleh aja enggak!
"E'hem."
Untuk itu Jeha berdehem, mengusir atmosfer canggung yang tiba-tiba menyelinap di antara mereka. "Ngapain kak, nongkrong di atap rumah sakit gini? Anak senja ya Lo?"
Berhasil!
Walau tetap bungkam, setidaknya Juna akhirnya melihat presensi Jeha. Cowok berwajah masam itu menatap Jeha datar lalu bergeser guna menjaga jarak.
Jeha tersenyum kecut menyadari itu. Juna segitu nggak maunya ya dekat dengannya?
Namun, ia selalu punya cara untuk menutupi segala pedih yang ia rasa. Jeha akan selalu lebih peduli dengan kebahagian orang lain, dibanding diri sendiri. Apalagi melihat raut sendu yang Juna pancarkan, lebih membuat hati anak itu berdesir tak nyaman.
"Ck, ck, ck, selain punya aura galak, ternyata Lo juga punya aura sedih yang butuh diobati tau, kak! Dan ... aha! Gue tau, obatnya adalah candaan dan keceriaan dari gue. Gak perlu bayar, gue bakal suka rela ngehibur elo."
Juna mengerutkan kening, melayangkan tatap tak sukanya pada Jeha secara terang-terangan. Dih, bocah aneh, berisik, freak! Umpatnya membatin.
Tanpa aba-aba, Jeha memajukan diri, mencondongkan kepala ke arah dada Juna membuat Juna seketika mematung, terkejut.
Mata Jeha mengerling tengil, kepalanya mengangguk-angguk, seakan mendengar sesuatu. "Oh nggak perlu berterimakasih, kak. Ini emang tugas gue sebagai agen penyebar kebahagiaan," katanya sembari kembali menegak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeha dan Luka
Teen Fiction{Brothership, Family, Angst, Sad} Sejak awal, hidup Jeha jauh dari kata baik-baik saja. Terjerat dalam keserakahan para orang dewasa yang buta akan cinta. Terkukung dalam lingkar dunia malam yang tak berkesudahan. Ia telah kehilangan banyak hal. Jat...