⚠ DISCLAIMER ⚠
- Fiksi, tidak ada sangkut pautnya penggambaran karakter tokoh dengan visualisasi
- Terdapat adegan kekerasan dan kata-kata kasar
- Foto cr; Pinterest.VOTE & COMMENT JAN LUPA, GUYS~
⭐⭐⭐
.
.
.
Pria berbaju steril warna hijau itu tampak kacau. Menunduk dalam, menggenggam erat tangan dingin sang putra yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Hatinya berisik melangitkan doa, sementara kedua netranya ramai berderai air mata. Pria itu Darion, bibirnya tak henti membisikkan kalimat-kalimat memohon pada Jeha supaya lekas membuka mata.
"Kenapa belum bangun, hm?" Hening. Tak ada sahutan selain suara beside monitor yang berbunyi konstan. Ini sudah hari ke lima, tapi Jeha belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata.
"Kamu tidak berencana meninggalkan ayah kan? Awas saja sampai tega melakukannya." Darion menengadah, menghalau air mata yang nyaris tumpah.
Menarik nafas dalam, Darion kembali bicara. "Memangnya seindah apa mimpimu? Apa di sana ada banyak Lego dan Lotso? Tck, bangun Son. Ayah akan membelikan mu jauh lebih banyak dari pada di sana."
Masih dalam keheningan, Darion mendesis mengamati wajah pucat Jeha. Bibirnya biru, walau tak sebiru saat pertama kali Darion bawa ke rumah sakit. Dokter berkata Jeha telat diberikan penanganan. Bagaimana tidak? Jeha cukup lama kehilangan kesadaran di dalam gudang sekolah yang pengap.
Trombosit anak itu turun drastis hingga mengalami perdarahan subarachnoid di otak*. Pun saturasi oksigennya yang jauh dari kata normal.
"Apa sakit sekali, hm?" Tanya Darion, mengusap lembut pipi Jeha, mengamati ventilator yang terpasang pada mulut anak itu.
"Oke, kalau begitu cukup gerakan jarimu. Jangan kan Lego atau Lotso, Jeha mau motor atau mobil pun akan Ayah berikan. Apapun, sampai Jeha mau membuka mata, akan Ayah turuti semua. Bagaimana, menarik bukan?"
"Jadi segera lah bangun, Son. Tawaran Ayah ada kadaluarsanya. Jangan sampai kau melewatkannya." Darion menghela nafas, Jeha kali ini sulit sekali dibujuk. Jadi yang bisa pria itu lakukan hanyalah kembali diam, memejam rapat, menciumi punggung tangan Jeha dengan penuh harap.
Di sisi lain, Juna mematung di balik kaca transparan pintu ICU. Menyaksikan Darion yang begitu hancur di sana. Satu hal lagi yang membuat Juna semakin bersalah. Selain telah membuat Jeha berakhir seperti ini. Darion --Om nya-- yang selalu tampak tegar kini berakhir begitu menyedihkan.
"Juna ..."
Buru-buru Juna mengelap air mata. Menoleh perlahan sembari menguasai ekspresi kembali datar.
Maria tersenyum sendu melihat wajah sembab Juna. Ditariknya tubuh putranya yang masih terasa hangat itu, lalu berucap lembut. "Jangan khawatir, sejauh ini kondisi adik mu sudah stabil. Kita hanya perlu menunggunya siuman," katanya menenangkan.
Jeha merenggangkan dekapannya. "Bunda serius?"
Mengangguk kan kepala, senyum Maria terlukis. "Iya, untuk apa bunda berbohong terkait kondisi pasien bunda sendiri?"
Sejenak Juna kembali melihat adiknya yang tak berdaya di sana. Matanya menyorot penuh haru membayangkan jika nanti Jeha sudah sadar.
"Bunda memang belum memberi tahu Darion tentang pemeriksaan terakhir Jeha pagi tadi. Pasti dia masih khawatir sekali sekarang. Soalnya semalam bunda bilang, kalau kondisi Jeha turun lagi kita terpaksa melakukan pengangkatan limpa meski itu sangat berbahaya." Jelasnya dengan senyum mengembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeha dan Luka
Teen Fiction{Brothership, Family, Angst, Sad} Sejak awal, hidup Jeha jauh dari kata baik-baik saja. Terjerat dalam keserakahan para orang dewasa yang buta akan cinta. Terkukung dalam lingkar dunia malam yang tak berkesudahan. Ia telah kehilangan banyak hal. Jat...