Part 12 | Mama, Jeha Takut.

784 153 106
                                    

DISCLAIMER

- Terdapat adegan kekerasan
- Memicu pengalaman traumatis
- Fiksi, tidak ada sangkut pautnya penggambaran karakter tokoh dengan visualisasi
- Foto, cr; pinterest

HAPPY READING, GUYS~

.

.

.


"Gawat. Lo harus cepetan nyusul ke belakang sekolah sekarang juga."

Jeha menautkan kedua alis tak mengerti, "ngapain gue ke sana. Ngomong yang jelas!"

Siswa tadi tampak gugup, menoleh sejenak ke sembarang arah dengan takut-takut. Saat dirasa aman, ia lalu mendekat ke telinga Jeha. "Ada geng sekolah sebelah yang nyariin elo. Mereka rusuh banget ngajak tawuran."

"Shit."

Tanpa banyak bertanya lagi Jeha bergegas lari. Menyusul ke halaman belakang sekolah yang di maksud. Dalam langkah lebarnya Jeha mengutuk nasib. Mengapa hal-hal seperti ini selalu muncul di waktu yang tidak tepat? Oh ayolah, Jeha baru saja berniat membuka lembaran baru. Ia sungguh ingin berubah kok.

Lalu sekarang? Bagaimana jika perkara ini sampai diketahui pihak sekolah? Dia memang sempat kepikiran membuat ulah, tapi bukan yang seperti ini maksudnya. Magani High School pasti tidak akan mentolerir kasus tawuran karena sangat merusak citra sekolah. Tidak. Jeha tidak ingin dikeluarkan dari sini.

Tiba di sana seorang remaja berkaca mata tiba-tiba terdorong hingga menubruk tubuhnya.

Bruk.

"J ..." gumam remaja itu, mengangkat kepala. "T-tolong, hikss ... tolong aku," katanya sembari memperbaiki posisi lalu menyatukan kedua telapak tangan memohon pertolongan dengan bibir gemetar pada Jeha.

Jeha reflek mundur, menjauh. "Siapa Lo?" Sungguh Jeha tidak mengenal satu pun di antara empat remaja berseragam SMA di depannya itu sekarang.

"Oh, ini temen Lo yang jago itu? Menarik sih, Lo punya temen yang sekolah di sini, haha." Salah satu dari ke tiga remaja berwajah sengak di sana maju, mengerling remeh pada Jeha. Sebelah tangannya membawa tongkat bisbol. Tampak garang dengan senyum miring menyebalkan.

"Iya! D-dia temen gue. Jadi jangan berani-berani lagi ganggu gue, Jake." Siswa yang menubruk Jeha tadi segera bangkit, merentangkan kedua tangan, menghadang jalan Jake supaya tak mendekat pada Jeha.

Jake lagi-lagi dengan gampangnya mendorong Max sampai anak itu tersungkur ke samping. Ia lantas kembali menatap Jeha. "Cih, lo yakin temenan sama Max si bocah dungu ini?"

Jeha tersentak. Temen? Siapa? Orang yang memohon padanya ini? Ck, nggak jelas semua.

"Sorry, gue nggak kenal kalian. Kalian pasti salah orang." Ungkap Jeha lalu dengan santai memutar badan, malas ikut campur.

Namun karena sikap Jeha itu Jake tersulut emosi merasa disepelekan. Ia melangkah cepat bersiap melayangkan pukulan ke kepala Jeha berbekal tongkat bisbolnya.

"JEHAAAAA!!!!"

Dengan sigap Jeha menghindar. Berbalik badan, memelintir lengan Jake begitu cekatan. Jeha lalu menghempasnya dengan kasar.

Siswa yang sudah berteriak kencang menyerukan nama Jeha tadi segera tergopoh-gopoh menghampiri. "Jeha ... Lo nggak apa-apa?" Dia Vino --siswa yang tadi ke kelas Jeha-- bertanya dengan panik, ternyata turut mengikuti sampai ke sini.

Jeha dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang