Part 15 | Jeha dan Luka

831 122 95
                                    

⚠️ DISCLAIMER ⚠️

Segala hal-hal yang berbau medis dalam cerita ini hanyalah berdasarkan pengetahuan dangkal penulis.

Apabila ada kesalahan, mohon diingatkan ya.
Terimakasih!

HAPPY READING, GUYS~

⭐⭐⭐

.

.

.


Jeha baru saja selesai diperiksa. Anak itu sempat muntah darah dan mengeluh kesakitan sesaat setelah berhasil mengumpulkan ingatan. Membuatnya gagal mendapat jawaban dari Juna sebab Maria lebih dulu datang memberi tindakan. Lalu sekarang, mood Jeha benar-benar berantakan.

Juna masih di sini, menemaninya. Memperhatikan Jeha yang bersandar dengan kepala miring, menerawang jauh ke luar jendela. Anak itu sibuk dengan pikirannya sendiri, berakhir mendiami Juna sekarang. Walau sebetulnya, ia memang berniat mengabaikan sang Kakak.

"Jeha ..." Panggil Juna, berusaha mengalihkan atensi Jeha. "Maaf ..." Akan tetapi adiknya seolah tak mendengarnya.

"Maaf karena Kakak terlambat."

Memejam pelan, Jeha dalam hati diam-diam membenarkan. Mengapa baru sekarang? Di saat dia tak lagi berharap Juna kembali padanya? Di saat dirinya hanya ingin, cukup berada di dekat Juna saja --dengan statusnya menjadi putra Darion-- hanya itu. Dia sudah tak peduli walau Juna tak mengingatnya.

Apalagi menyadari kondisi tubuhnya kini. Jeha merasa, lebih baik Juna melupakannya untuk selamanya. Sebab setelah pemeriksaan tadi, melihat bagaimana raut Maria saat meminta Darion dan Garda keluar, Jeha bisa menebak. Ada yang salah lagi dengan tubuhnya. Ia pun bisa merasakan itu. Jadi untuk apa Juna kembali padanya jika ia sendiri akan meninggalkan sang Kakak?

Sejenak, Jeha menoleh hanya untuk menemukan Kakaknya yang menunduk sembari menggigit kuat bibir bawahnya.

"Maaf Kakak tidak mengenalimu. Maaf Kakak tidak mengingatmu. Maaf ... karena memiliki Kakak yang gagal sepertiku."

Juna menangis, namun hati Jeha belum tergerak untuk sekedar mengusap air mata sang Kakak. Ia memilih diam menyimpan segala resah di hatinya sendirian. Tidak. Dia tidak membenci Juna. Dia hanya membenci kepada takdir yang mempermainkannya.

"Kamu beneran nggak mau maafin Kakak?" Juna agak memanjangkan leher, menengok lebih jelas raut wajah Jeha yang kembali berpaling darinya.

Mengusap air mata, Juna menghembuskan nafas panjang. "Oke gapapa, Kakak bisa ngerti. Kamu pasti butuh waktu," katanya lantas beranjak ke kamar mandi guna membasuh wajah.

Selang beberapa menit, Juna kembali dengan wajah yang lebih segar. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat perawat yang baru saja keluar, setelah menyiapkan makanan untuk Jeha.

Juna lekas menghampiri saat melihat adiknya hanya menatap makanan dengan tak selera. Tanpa banyak kata, Juna langsung mengambil alih sendok di tangan Jeha. Sedangkan adiknya itu masih saja diam. Pandangannya gamang, mengabaikan segala tindakan Juna.

Jeha pikir, Juna pasti hanya sedang membantu membereskan makanannya yang tak ia habiskan. Tetapi bagaimana tindakan Juna berikutnya membuat Jeha sedikit kaget.

"Ngapain?" Tanyanya polos.

Juna mengangkat alis, menyodorkan lebih dekat tangannya yang sudah menyendok sesuap bubur di depan mulut Jeha. "Ayo, A ..." Intruksi Juna, membuka mulut.

Jeha dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang