Part 6 | Bagai Berkepribadian Ganda

768 211 75
                                    

⚠️ DISCLAIMER ⚠️
- Foto, cr; pinterest
- Terdapat kata-kata kasar
- Adegan tidak patut dicontoh
- Fiksi, tidak ada kaitannya dengan visualisasi

⭐ VOTE DULU, YUK ⭐
Happy Reading, Guys~

.

.

.

.

.

Jeha terbangun saat mendengar gaduh di dekatnya. Matanya mengeriyip dengan alis bertaut bingung. Dilihatnya Viona yang sedang sibuk membongkar setiap isi laci di lemari bajunya. Apa yang dilakukan Mama tirinya itu sepagi ini di kamarnya? Ah benar juga, apa Mama tirinya itu yang memindahkan dirinya ke ranjang semalam? Untuk itu, Jeha segera menegak walau kemudian meringis merasakan nyilu di beberapa sendinya.

"Di mana obat-obatan mu?" Tanya Viona, tanpa mengalihkan pandang dari laci-laci di hadapannya. Jeha menggigit bibir, ternyata wanita itu menyadari kalau Jeha sudah bangun. "Segera minum obatmu. Sudah ku peringatkan, jangan mati di sekitarku!"

Tanpa menanggapi ucapan Viona, Jeha menarik kedua sudut bibirnya. "Terimakasih, Ma ..."

Mendengar itu Viona menoleh, tergesa. Jadi menatap kesal pada Jeha. "Jangan salah paham. Semalam aku mencoba menghubungi Garda, tapi ternyata dia masih ada proyek penting di Kanada. Siang nanti dia baru bisa kembali ke Indonesia untuk menemuimu. Jadi aku terpaksa kemari, bersama supirku yang memindahkanmu ke ranjang," jelas Viona mengundang anggukan mengerti dari Jeha. Pantas saja semalam Garda tidak ada di apartemen.

"Pahami dengan baik. Aku bukan menyelamatkanmu, aku hanya berusaha menyelamatkan keluargaku," sambung Viona dengan tegas.

Wanita itu alergi sekali dengan polisi. Jika Jeha mati disekitarnya, tidak hanya kasus pembunuhan, tetapi bisnis gelap serta kejahatan lain yang pernah ia lakukan bersama Jordi satu persatu akan terungkap. Viona sungguh tidak ingin itu terjadi.

Jeha menipiskan bibir. Meski benar demikian, Jeha tetap bersyukur. Semalam bukan malam terakhir dalam hidupnya. Padahal tubuhnya sudah sepayah ini, tapi ternyata, ia masih diberi kesempatan membuka mata. Benar, Tuhan harus adil padanya. Ia belum mencicip bahagia, bukankah terlalu kejam jika Tuhan mencabut nyawanya begitu saja?

"J?" Panggil Viona, menatap begitu dalam pada Jeha.

"Hm?" Jeha reflek menyahut.

"Kau tidak membenci Papamu?" Entah kenapa, pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Viona. Untuk sejenak, Jeha terdiam, membisu sembari menimang jawaban. Jika ia menjawab 'tidak', bukankah itu terlalu naif?

"Kau sudah dewasa. Aku tiba-tiba cemas, suatu saat kau akan melaporkannya ke polisi, Reksa, dia_"

"Tidak, Ma. Mana mungkin J melaporkan Papa ke polisi? Bahkan sekeras apapun Papa memukulku, aku tidak akan melakukannya. Mama tenang saja. Reksa dapat mengambil perhatian Papa seutuhnya tanpa khawatir akan J ganggu."

Viona tertegun mendengar jawaban Jeha. "Entah bagaimana cara otakmu bekerja," gumamnya sembari berdecih melihat senyum di wajah Jeha. "Apa kau tidak pernah sedih?" Sambungnya, bertanya dengan kesal.

Jeha merapatkan bibir. "Em ... satu-satunya yang membuat J sedih adalah fakta bahwa Papa berusaha menjadikanku sebagai manusia yang buruk." Jeha menunduk, tiba-tiba tertawa. Lucu sekali hidupnya. Mendadak jadi teringat kembali bagaimana Jordi selalu memaksanya meminum miras, merokok, berjudi, dan berbuat hal-hal keji lainnya.

Jeha dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang