Di sebuah kamar rumah sakit yang penuh dengan alat-alat medis dan bau antiseptik yang menyengat, Jeha menatap ke luar jendela dengan sayu. Sudah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, ia terjebak di ruangan itu, berjuang melawan penyakit yang terus menggerogotinya. Setiap hari, kalau Jeha boleh jujur, semangatnya untuk sembuh semakin menipis. Jika bukan karena Ayahnya, Jeha tak akan mau bertahan selama ini dengan berbagai rasa sakit yang selalu menghujaminya setiap hari.
"Ayah..." panggil Jeha dengan suara paraunya.
Darion, yang duduk di samping barankar putranya, menoleh dengan cepat. "Ada apa, Jeha? Ada yang kau butuhkan, hm?"
Jeha menggeleng pelan, menghela napas panjang, lalu meraih tangan Ayahnya, mencoba memberanikan diri meminta. "Ayah, Jeha bosan di sini. Jeha lelah Ayah. Padahal sudah berapa lama Jeha di sini? Tapi rasanya tetap sama, nggak ada yang berubah. Kondisi Jeha nggak pernah membaik, sebaliknya, malah memburuk terus. Ayah melihatnya sendiri kan?"
"Jeha ..."
"Jeha bicara fakta, Yah... bukannya sembuh, Jeha malah ngoleksi penyakit."
Darion tak bisa menjawab. Saat ini Jeha sedang frustasi dengan tubuhnya sendiri.
"Jeha ingin berlibur, Ayah. Bisakah kita pergi ke pantai, mm?"
Darion terdiam sejenak, menatap wajah pucat putranya dengan hati yang berkecamuk. Sejujurnya, ia sendiri yang menjanjikan liburan ini pada Jeha. Tetapi, ia takut putranya akan kenapa-napa. Kondisi Jeha naik turun terus setiap harinya.
"Ayah minta maaf, tapi Jeha, kondisimu..."
"Ayah, tolong..." Jeha memotong dengan mata berkaca-kaca. "Jeha ingin menikmati sisa waktu yang Jeha miliki. Jeha rindu udara segar, Jeha rindu bermain di luar. Bisakah kita pergi? Ayo, Ayah..."
Tangis Jeha pecah tiba-tiba, selain kondisi yang naik turun, emosi remaja itu juga sulit sekali stabil. Bahkan begini saja dia sudah terisak-isak, membuat Darion sedikit panik sebab Jeha jadi kesulitan bernafas.
Semenjak kejadian mengamuk ingin bertemu Mama, Jeha tak lagi bisa seceria dulu. Membuat Darion semakin hancur hatinya. Dia tahu bahwa putranya sudah sangat menderita, dan meskipun ia tahu hal itu, ia tetap tak akan kalah dengan rayuan sang putra.
"Tidak Jeha. Sembuh dulu__"
"Sembuh? Kapan? Keburu mati, iya!"
"Jeha!" Darion kelepasan membentak Jeha. Remaja yang memang sudah amat rapuh baik fisik maupun batinnya itu kontan memalingkan wajah dengan berderai air mata.
Darion menghela nafas bersabar. Ia usap tangan Jeha yang sudah mengurus itu dengan perasaan getir. Fisik putranya benar-benar berubah total. Selain rambutnya yang sudah tak bersisa sehelai pun, otot-otot di tubuh anak itu pun juga seolah menghilang entah kemana. Remaja itu kurus kering, membuat hati Darion semakin nyeri menyadari itu.
"Baiklah, Jeha," jawab Darion akhirnya, suaranya bergetar. "Ayah akan bicara dengan Om Hendra dan para doktermu dulu."
***
Setelah berkonsultasi dengan Mahendra, Maria, dan beberapa Dokter lainnya, keputusan sulit pun diambil. Mahendra memahami kerinduan Jeha akan kehidupan normal. Jadi pada akhirnya, ia dan para Dokter yang menangani Jeha memberikan izin untuk berlibur dengan pengawasan ketat. Darion pun segera menyiapkan segala keperluan mereka dibantu para pengawalnya.
Hingga tibalah pada hari ini. Hari yang amat ditunggu-tunggu Jeha.
"Jadi, kita benar-benar akan ke pantai?" Jeha bertanya dengan mata berbinar, meski ia masih duduk di kursi roda dan mengenakan nasal cannula untuk membantu pernapasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeha dan Luka
Teen Fiction{Brothership, Family, Angst, Sad} Sejak awal, hidup Jeha jauh dari kata baik-baik saja. Terjerat dalam keserakahan para orang dewasa yang buta akan cinta. Terkukung dalam lingkar dunia malam yang tak berkesudahan. Ia telah kehilangan banyak hal. Jat...