⚠️ DISCLAIMER ⚠️
Segala hal-hal yang berbau medis dalam cerita ini hanyalah berdasarkan pengetahuan dangkal penulis.
Apabila ada kesalahan, mohon diingatkan ya.
Terimakasih!HAPPY READING, GUYS~
⭐⭐⭐
.
.
.
Juna melangkah perlahan. Mendekat pada adiknya yang terlihat begitu rapuh di ranjang pesakitan. Tubuh Jeha dipenuhi oleh berbagai alat medis. Di kepalanya, terdapat serangkaian elektroda dan kabel yang terhubung ke monitor. Memantau aktivitas otaknya dan mengendalikan kejang yang sempat menyerang. Kabel elektrokardiogram juga terhubung ke dada Jeha, merekam detak jantungnya yang masih menampilkan angka-angka rendah.
Juna menyisir tubuh adiknya, membuat gelanyar menyesakkan langsung memenuhi rongga dadanya. Jari jemari Jeha masih terlihat menyentak-nyentak kecil. Sisa sengatan kejang-kejangnya beberapa menit lalu. Nafas anak itu pun masih terdengar berat walau sudah dipakaikan masker oksigen. Desingan dari berbagai alat medis yang menandakan bahwa mereka sedang membantu Jeha bertahan hidup seolah tak berarti apa-apa. Jeha masih belum mampu membuka mata. Anak itu tak sanggup bangun sebab rasa sakit yang mendera, melampaui batas toleransi tubuhnya.
Juna duduk, memandang lamat wajah Jeha. Perasaan marah pada para medis sebelumnya kembali meluap. Bagaimana bisa mereka berkata belum memiliki cara untuk mengurangi rasa sakit Jeha? Membayangkan betapa tersiksanya Jeha dengan tubuhnya sendiri membuat Juna serasa tercabik-cabik hatinya.
"Aku mempercayakan kesembuhannya padamu."
Mendengar pembicaraan itu, Juna menoleh ke belakang. Pada Darion dan Mahendra yang saling berhadapan dengan raut ketara tegang.
"Aku tahu, Darion. Tenang lah. Hasilnya akan keluar paling lambat besok. Dugaan sementara, kejang yang dialami Jeha merupakan efek kemoterapi dan kondisi psikisnya. Tetapi kita tetap perlu memastikan tidak ada sel kanker yang menyebar ke otaknya."
"Tapi katamu tadi pagi kondisinya sudah baik, kenapa tiba-tiba seperti ini?"
"Kanker itu tidak tertebak, Darion. Metastasisnya bisa berubah sangat agresif. Jadi naik turun kondisi pasien dalam waktu singkat seperti ini memang seringkali terjadi."
Darion mengusap wajah kasar. Dia lelah, marah, cemas, dan gelisah secara bersamaan. Memandangi putranya sekilas, Darion yang tak sanggup memilih keluar ruangan. Diikuti Mahendra yang mendesah sesaat sebelum turut keluar.
Juna hanya bisa menghembuskan nafas berat merespon itu. Kini kembali beralih memandangi Jeha dengan mata berembun.
"Katanya kuat? Katanya pernah menang lawan sepuluh preman? Ck, bohong ya? Buka mata aja sekarang gak bisa!" Juna menghapus air matanya kasar. Ia mengambil nafas dalam. "Sesakit apa sih, ha?! Jangan jadi cowok lemah. Lawan, anjir! Jangan mau kalah sama kanker sialan itu."
Juna hati-hati meraih tangan Jeha yang terlilit banyak selang. Getar menyentak yang semula tersisa di sana kini sudah hilang. Juna meringis kala menyadari tangan itu tampak membengkak, terlampau sering tertancap jarum suntik dan infusan. "Jeha marah ya sama kakak?" Tanya Juna, merubah intonasi dan gaya bicaranya. Jeha mungkin marah padanya karena ia memaksa anak itu untuk cerita. Atau mungkin Jeha marah padanya karena keinginannya tidak dituruti.
Siapa yang tidak akan melarang jika Jeha berkata ingin menemui Mamanya? Orang waras macam apa yang akan menuruti keinginan tersebut?
"Jangan gini, sekarang jadi kakak yang takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeha dan Luka
Teen Fiction{Brothership, Family, Angst, Sad} Sejak awal, hidup Jeha jauh dari kata baik-baik saja. Terjerat dalam keserakahan para orang dewasa yang buta akan cinta. Terkukung dalam lingkar dunia malam yang tak berkesudahan. Ia telah kehilangan banyak hal. Jat...