Part 30 | Jeha dan Bahagia

472 52 16
                                    

Usai bertelfon dengan Garda tadi, Jeha mengeluh pusing. Merasakan hawa panas di tubuhnya yang perlahan meninggi. Anak itu sudah meminum obatnya, tetapi tak seperti biasanya yang akan tertidur setelahnya, Jeha malah tetap terjaga. Ia juga tak ingin kembali ke kamar, panas katanya. Ia lebih suka di luar malam ini. Ingin menikmati udara segar dan ingin melihat bintang-bintang indah di langit. Syukurlah, baik Darion maupun Juna tak ada yang melarang Jeha.

Maka di sini lah anak bermata hazel itu sekarang, di rooftop Villa, terbaring di dalam gelungan selimut tebal sembari menatap langit malam dengan mata sayunya. Di sampingnya ada Juna, yang menjaga Jeha dengan penuh perhatian, meski hati Juna penuh dengan rasa takut yang berusaha disembunyikan.

"Bintang-bintangnya banyak banget, loh..." kata Juna.

Jeha tersenyum. "Iya, indah ya kak..."

Juna mengangguk setuju. Senyum keduanya mengembang dengan mata sama berbinarnya.

Jeha menarik nafas dalam dan menghembuskannya lega. "Akhirnya, Jeha bisa lihat bintang bareng Kak Juna."

Tatapan Juna beralih, kini melihat adiknya yang tampak berseri. Ia pun mengusap senang bahu Jeha.

"Jeha jadi dejavu..." Jeha teringat sesuatu.

"Dejavu?"

Tersenyum lebar, Jeha mengangguk lalu mengambil nafas dalam sebelum menjawab. "Rebahan natap langit, nikmatin bintang-bintang, juga..."

rasa sakit yang ditahan. Lanjutnya dalam hati, tak mungkin ia suarakan.

"Juga?"

Jeha menggeleng, mengenyahkan suara hatinya tadi. Ia menyengir. Mengabaikan pertanyaan Juna.

"Hehe, dulu tuh Jeha juga sering loh kak kayak gini," lanjut Jeha mengundang rasa penasaran Juna.

"Oh ya? Dengan siapa?" Juna bertanya, membenahi selimut Jeha supaya tetap rapi sampai ke leher adiknya.

"Sendirian sih. Jadi dulu itu, tiap Papa marah dan mukulin Jeha, pasti abis itu Jeha diusir dari rumah. Trus karena Jeha nih lemah banget ya... jadi Jeha nggak kuat jalan jauh, kak. Jadi rebahan aja deh di depan rumah. Nah, sekalian tuh nikamatin bintang-bintang di langit sampe ketiduran," ungkapnya. Meskipun Jeha tak yakin, apakah saat itu ia benar ketiduran atau malah hilang kesadaran, sebab segala sakit yang tubuhnya rasakan.

Juna memalingkan wajah. Matanya mendadak memanas. Tak suka dengan cerita Jeha yang baru saja ia dengar. Membuatnya jadi semakin ingin mengunjungi Jordi di penjara, dan menghajar Pria itu saat ini juga.

"Tapi sekarang, Jeha ada temennya." Senyum merekah terbit di wajah Jeha. Menatap Juna dengan perasaan bersyukur yang meluap.

Juna menggenggam tangan Jeha erat. "Mm! Sekarang kakak bakal temenin Jeha terus. Ada om Darion juga yang nggak bakal tinggalin Jeha sendirian."

Jeha mengangguk pelan, air mata menggenang di sudut matanya. Jika dulu ia menikmati bintang dengan sisa-sisa rasa sakit akibat hajaran Jordi. Sekarang, meskipun ia menikmati bintang tetap dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya, karena monster dalam tubuh Jeha, Jeha bahagia. Karena di sela-sela sakit itu, Jeha punya teman. Kakak dan Ayah yang selalu ada untuknya.

"Jeha bahagia tahu, Kak. Bahagiaaa banget..." Celetuk Jeha tiba-tiba m.

Juna menghela napas panjang, mencoba meredam kembali perasaan takutnya yang mendadak muncul lagi. "Dih, orang nggak ada yang nanya."

"Ya kali aja Kak Juna pengen tahu," balas Jeha sambil terkekeh pelan. "Seriusloh, Jeha udah bahagia."

"Ck, mending diem aja deh," Juna menggerutu pelan, namun dalam hatinya ia merasakan kehangatan melihat Jeha tersenyum. Meski lagi-lagi, senyum itu selalu berhasil membuat gelanyar menyakitkan di dadanya.

"Udah jam berapa sekarang, Kak?" tanya Jeha setelah beberapa saat.

Juna melihat jam tangannya. "Jam dua belas kurang sepuluh menit."

"Tumben belum ada yang nyuruh tidur. Padahal Jeha udah ngantuk," ujar Jeha sambil menguap kecil.

Juna menoleh cepat, melihat Jeha yang matanya semakin sayu. "Jangan tidur," larangnya dengan nada cemas.

"Em?" Jeha menatap Juna dengan bingung.

"Ayo bergadang, temenin Kakak," Juna berujar tegas, menggigit bibirnya kuat-kuat menahan perasaan tidak enak yang semakin menyeruak.

Jeha menoleh ke arah pintu lift yang masih tertutup. "Nanti tolong bilang ke Ayah Darion jangan bangunin Jeha ya," pintanya dengan suara lemah.

"Dibilang jangan tidur, Jeha," Juna semakin gusar.

Jeha menarik napas dalam lalu mengernyit menahan sakit. "Kak, bisa peluk Jeha?" pintanya susah payah.

Juna segera menaikkan selimut tebal di tubuh Jeha lalu memeluknya erat. "Dingin? Mau turun aja?" tanyanya khawatir.

Jeha menggeleng lemah, menelusupkan kepalanya ke dada Juna. Mereka terdiam lama, menikmati kehangatan kebersamaan itu.

"Jeha ..." bisik Juna dengan suara parau.

"Hm?" Jeha menjawab pelan.

Juna menghela napas dalam-dalam. "Jangan tidur dulu, Jeha ... Kakak takut."

"Jeha berusaha, Kak. Tapi kalau Jeha ketiduran, nggak papa ya?" ujar Jeha dengan suara yang semakin lemah.

Juna menengadah, berusaha keras menahan air mata. Ia tak sanggup menjawab.

"Kak..."

"Jangan paksa Kakak, Jeha." Juna mencoba menguatkan diri lagi. "Kakak nggak bisa. Ka-kakak nggak akan pernah bisa ..." tangisnya akhirnya pecah, tumpah ruah tanpa bisa ditahan.

Tangan lemas Jeha terangkat pelan. "Tapi Jeha udah ngantuk banget..." katanya memohon.

Juna segera meraih tangan Jeha, meletakkannya di pipinya sambil menangis keras. "Iya, iya ... nggak papa, Jeha boleh tidur," bisiknya sambil mengangguk-angguk tak rela.

"J-jeha sayang Kak Ajun," ujar Jeha pelan.

"Kakak lebih sayang Jeha. Tidur yang nyenyak ya adiknya Kak Ajun ..." jawab Juna dengan suara bergetar.

Dan saat kata-kata itu selesai, mata Jeha menutup perlahan. Tampak terlelap dengan wajah damai dan senyum yang tetap menghiasi bibirnya.

Juna mengecup lama kening adiknya, menatap pilu wajah tanpa rona itu. "Tunggu Kakak di sana..." bisiknya.

"Susu mu datang, Son__"

"Ssttt ... Jeha tidur, Om," kata Juna lembut.

"Apa maksudmu? Ba-bangun kan dia, dia harus meminum susunya," ujar Darion dengan cemas.

Juna terkekeh dengan pandangan kosong, mengusap sayang di pipi tirus adiknya. "Dia berpesan supaya tidak dibangunkan, Om. Dia bilang, dia sudah bahagia. Jangan ganggu tidurnya." Bahkan Juna bisa merasakan, hawa panas ditubuh Jeha sudah sepenuhnya hilang. Berganti dingin yang mengilukan batin. "Adik ku udah nggak sakit lagi, Om. Demamnya sudah hilang..."

"Tidak, tidak," Darion berkata panik, mendorong tubuh Juna menjauh dari Jeha.

Pria itu segera mendekap tubuh Jeha dengan kepedihan luar biasa. "Putraku, putraku ... Jeha ..."

Malam itu, pukul 00.00, berakhir pula kisah penuh haru biru Jeandra Hanardasa. Dia pergi membawa sejuta luka yang telah mengendap lama di hatinya, melebur dalam keabadian.

"Selamat tidur, putra Ayah ..." bisik Darion lirih.

[E N D]

Terimakasih untuk para readers yang setia baca, vote, juga Komen di lapak Jeha dan Luka ini. Semoga ada hal-hal baik yang dapat kalian ambil dari kisah ini.

Butuh extra part Jeha x Garda nggak???

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jeha dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang