Part 21 | Jeha Rindu Mama

692 79 46
                                    

⚠ DISCLAIMER ⚠

- Fiksi
- Terdapat S-word
- Gambar, cr; pinterest

HAPPY READING, GUYS~

⭐⭐⭐

.

.

50 vote dan 30 komen dulu
baru up part baru

.

.

.

Dua Minggu telah terlewati dengan perasaan campur aduk. Belakangan, hari menjadi terasa berjalan begitu lambat. Ada goresan lara tak kasat mata yang mengacaukan seluruh perasaan bahagia yang sempat tercipta. Rasa-rasanya baru kemarin ruangan ini ramai oleh tawa. Tetapi malam kali ini, suasana terasa sepi dan begitu hening.

Ruangan bernuansa putih terang itu seolah berubah menjadi hitam kelam. Juna duduk termenung sendirian, menghadap jendela, memandangi hujan yang tidak deras, tetapi cukup untuk membuatnya larut dalam kesedihan.

Benar kata banyak orang. Hujan itu magis, datangnya tak luput dari perasaan melankolis.

Atensi Juna teralihkan. Suara lenguhan tak nyaman terdengar dari adiknya yang terbaring tak berdaya di atas brankar. Ia segera bangkit dan beralih mengecek suhu tubuh Jeha.

"Jeha ..." panggilnya pelan, bermaksud memberitahu bahwa ada dirinya di sini.

Jeha sama sekali tak menjawab, pun sekedar membuka mata atau membalas genggaman tangan Juna. Anak itu kembali tertidur walau pejamnya tampak sekali tak tenang.

Sementara Juna jadi memandang getir wajah adiknya yang tampak pucat pasi itu. Kernyitan-kernyitan halus tampak di kening Jeha yang dibanjiri keringat. Demam tinggi yang sejak kemarin menyerang Jeha, belum juga turun. Tiga hari pasca kemoterapi ke duanya, anak itu drop tepat setelah mengantar Opa dan Garda ke bandara untuk kembali ke Kanada.

Sementara Darion terpaksa harus meninggalkan Jeha hari ini. Ada urusan bisnis yang tak dapat lagi ia tinggal setelah mengambil cuti berhari-hari. Syukurlah ada Hendra, Maria, dan Juna yang meyakinkan dirinya untuk mempercayakan Jeha pada mereka. Toh, juga ada Victor si yang paling setia menjaga Tuan Mudanya itu.

"Sstt ... tenang, hey, ada Kakak di sampingmu."

Sebab Jeha yang kembali melenguh dengan rintihan, Juna pun memilih menarik kursi yang sebelumnya ia pakai untuk duduk di dekat jendela balkon. Ia beralih duduk di samping Jeha, memandang kelopak mata adiknya yang perlahan terbuka sayu.

"Mimpi buruk lagi?" Tanya Juna ketika Jeha sudah melirik ke arahnya.

Jeha mengangguk pelan lalu menghembuskan nafas yang terasa panas di kulit. Ia lantas beralih memandangi langit-langit ruang rawatnya. Mimpi buruk yang tak kunjung usai terus saja mengusik lelapnya. Masa kecil yang traumatis itu kembali menyeruak ke permukaan. Menjadi salah satu alasan mengapa Jeha drop akhir-akhir ini.

"Ceritakan ke Kakak, Jeha ... ayo bagi sakitnya sama Kakak. Jangan dipendam sendiri, mm?" Juna memohon lembut. Ia merasa tak berguna kala adiknya kesakitan seperti ini tetapi, ia malah tak bisa melakukan apa-apa.

Jeha pun seakan menutup diri. Tiap Juna bertanya perihal mimpi buruk itu, Jeha selalu menolak menjawab. Berujung diam dan membuat Juna memilih mengalah, tak berani membahasnya. Namun tidak untuk kali ini. Juna ingin Jeha jujur padanya.

Jeha dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang