1. Diam dan segala risaunya.

6.3K 324 14
                                    

Dua Tahun Kemudian.

****

Hening, sepi, dan dingin, itu adalah keadaan yang sudah menjadi hal yang biasa-yang selalu menyambut kedatangan Arfan sepulang bekerja. Juga keadaan yang selalu menemani dia selama ini. Selama dua tahun terakhir, dia selalu hidup dalam keadaan yang tidak pernah ada lagi tawa juga bahagia di sekelilingnya.

Dia seperti tenggelam dalam keadaan sepi dan sendiri. Padahal dia tahu, ada orang lain. Wanita lain yang hidup satu atap denganya.  Yang dia yakini saat ini sedang menunggu kepulanganya seperti biasa. Wanita yang selalu berhasil menyulut emosi juga segala amarahnya setiap kali dia melihat wanita itu. Setiap kali senyum itu menghiasi wajahnya. Juga segala tingkah diam dan menerimanya yang selalu mampu membuat dia benci dan marah.

Tapi, dia tidak tahu apa yang membuat dia benci wanita itu. Apa karena keadaan wanita itu yang tenang-tenang saja menerima? Atau karena dia bukan wanita yang Arfan inginkan? Jika begitu, sampai kapan dia akan bertahan dengan keadaan seperti ini?

"Mas, sudah pulang?" Pertanyaan bernada ramah, juga lemah lembut itu hanya dibalas Arfan dengan lirikan mata sekilas. Kakinya tetap melangkah menaiki anak tangga hingga melewati wanita yang kini berdiri di tengah tangga dengan wajah ramah juga senyum lembutnya.

Senyum itu tidak luntur, tidak surut meski Arfan melewatinya begitu saja. Melengos tanpa mau menatapnya.

"Mas udah makan malam?"

Itu adalah pertanyaan yang selalu Arfan dengar nyaris setiap dia pulang bekerja. Pertanyaan yang tidak pernah bosan wanita itu lemparkan padanya. Pertanyaan yang tidak pernah Arfan jawab juga. Karena hingga detik ini, Arfan enggan berbicara dengannya. Enggan berinteraksi dengannya hingga-mungkin, nanti bisa saja membuat harapan baru bagi wanita itu. Hingga kini, menjadi satu-satunya wanita yang sangat dia benci.

"Sudah, ya?"

Arfan masih diam. Bungkam hingga dia tiba di dalam kamar. Lalu saat dia melempar asal tasnya ke atas sofa. Jatuh tergeletak di sana. Pendengarannya bisa dengan jelas menangkap suara pintu tertutup. Disusul langkah kaki melangkah mendekat.

"Aku udah siapin air hangat...." Arfan bergerak menghindar saat tiba-tiba tangan itu terulur, hendak membantunya melepaskan dasinya. Dan saat kedua mata Arfan tidak sengaja menatap wajah itu. Ada senyum canggung, juga ekspresi kaku yang dia tunjukkan. Yang hanya dalam hitungan detik, segera berubah menjadi senyum lembut. Yang selalu tersemat di wajah itu. Yang seakan menunjukkan jika wanita itu baik-baik saja. Tidak apa-apa dengan tingkah Arfan saat ini.

Namun entah mengapa, membuat Arfan merasa tidak suka. Dia segera bergerak, melangkah menghindar, menjauh dan menghilang di balik pintu. Meninggalkan keheningan yang lagi-lagi menemani wanita itu.

****
Dalam dua tahun terakhir ini, Arfan mulai terbiasa dengan keadaan enggan berbicara. Enggan melakukan apa pun ketika dia sudah berada di rumah. Juga enggan untuk berada  di satu ruangan dengan wanita yang selama dua tahun ini terus mengajaknya berbicara tanpa lelah.

Namanya Silla, Arsilla Maharani. Wanita dengan rambut panjang berwarna hitamnya. Yang tidak pernah bosan mengajak Arfan berbicara meski tidak pernah sekalipun dia jawab ataupun dia ladeni. Dia hanya diam, menghindar dan pergi. Begitu terus hingga dua tahun terakhir ini. Sampai Arfan kira wanita itu akan lelah. Akan pergi dan menghilang.

Namun sudah dua tahun berlalu, wanita itu sama sekali tidak berubah. Sama sekali tidak lelah dan mengalah. Dia tetap bersikap seakan-akan semua baik-baik saja. Seakan Arfan suka dengan kehadirannya.

Seperti malam ini, juga malam-malam biasa yang sudah membuat Arfan mulai merasa terbiasa. Saat dia berbaring di atas ranjang dengan tubuh terlentang. Akan ada suara lembut yang masuk ke dalam indra pendengarannya. Pertanyaan yang tidak pernah sekalipun mendapatkan jawaban dari Arfan.

Sang Pemilik Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang