16. Meminta pertanggung jawaban

4.4K 279 3
                                    

Akhirnya Arsila pasrah, diam dan menurut. Membiarkan lengan Arfan memeluk perutnya erat. Meski tidak berbohong jika dia benar-benar merasa tidak nyaman. Ini bukan yang pertama memang, mereka bahkan pernah melakukan hal lebih dari ini. Namun saat mengingat bagaimana sikap Arfan belakangan ini padanya, yang kadang membuatnya mudah naik ke awan. Tapi pria itu juga pintar dalam menjatuhkannya ke dasar jurang yang paling dalam--dalam waktu bersamaan. Jadi Arsila sudah mulai lelah dalam mengartikan sikap pria itu padanya.

Beberapa menit Arsila diam, berkali-kali melirik ke arah jarum jam yang ia rasa sangat lambat dalam bergerak. Setalah di rasa cukup. Dengan hati-hati Arsila mengangkat lengan yang melingkari perutnya. Nyaris saja lengan itu terangkat, dan berhasil ia pindahkan. Namun teguran di belakang telinganya membuat kegiatannya gagal. Dia langsung memutar kepalanya.

"Mas belum tidur?"

Arfan membuka matanya. Menatap wanita yang berbaring memunggunginya namun wajah wanita itu menoleh ke arahnya.  Tanpa ragu sedikit pun ia eratkan pelukannya di pinggang wanita itu.

"Gimana bisa tidur kalau kamu sedari tadi gerak terus?"

Arsila mengangkat lengan Arfan. Menyingkirkannya jauh dari tubuhnya. Tapi memang dasar pria yang berstatus suaiminya itu sedang dalam tingkah yang Arsila sendiri tidak tahu kenapa, lengan itu kembali memeluk pinggangnya. Lebih parahnya kini malah menarik tubuhnya hingga menabrak tubuh depan pria itu. Membuat kedua mata Arsila melotot lebar.

"Mas!"

"Kita belum pernah tidur siang, kan? Gimana kalau kita tidur siang hari ini?"

Arsila mendesis. Berusaha melepaskan lengan Arfan yang sangat erat memeluknya itu. "Mas! Aku harus pulang."

"Terus aja gerak. Lama-lama kalau dia bangun, kita bukan cuman tidur siang di sini."

Gerakan tangan Arsila terhenti, begitu pun tubuhnya yang sedari tadi berusaha melepaskan diri. Jelas dia paham ke mana arah bicara Arfan. Karna kini tubuhnya benar-benar menempel pada tubuh depan pria itu. Belum lagi tangan pria yang sejak tadi lengannya ia jadikan bantalan itu. Yang kini melingkar di pundaknya.

"Mas, aku harus pulang. Tolong-"

"Ibu udah nggak papa. Aku juga yakin kalau besok ibu akan kerumah sakit buat jenguk ayah. Ibu udah kelihatan sehat tadi. Terus mau ngapain kamu pulang?" Sesaat Arfan mengernyi mendengar ucapannya sendiri. "Lagian rumah kita di sini. Kamu mau pulang ke mana?"

Arsila menggigit bibirnya kuat. Merasa kesal karna Arfan selalu memiliki balasan untuk setiap ucapannya.

Arfan memajukan wajahnya. Berbisik tepat di telinga Arsila hingga membuat Arsila merinding. "Dengar, Arsila." Arsila menggeliat mendengar bisikan itu. "Yang sakit itu suami kamu, di sini. Kamu nggak mau tanggung jawab udah buat dia sakit hari ini?"

Arsila menoleh, tanganya menahan pundak Arfan selagi tubuhnya berputar menghadap pria itu, berusaha menjaga jarak agar jarak tubuh mereka tak terlalu rapat. Tapi memang dasar pria di depannya itu sedang sangat aneh. Pria itu malah menguncinya dengan satu kaki pria itu ia lilitkan di pahanya. Membuat Arsila melirik apa yang pria itu lakukan saat ini.

"Tenaga mas bahkan sama sekali nggak menunjukkan seperti orang sakit."

"Oh ya?" Arfan ikut melirik arah pandang wanita di depannya itu. "Tapi tetap kan, harus cuti kerja? Bahkan harus tiduran seharian di rumah. Kamu tahu berapa kerugian yang harus perusahaan tanggung hari ini karna aku nggak masuk kerja?"

Kenapa itu terdengar seperti tuduhan semua karna kesalahan Arsila ya? Padahal kan jelas-jelas..

"Tapi papa pasti nggak akan masalahin semua kerugian itu kalau kita..." Arfan menarik sudut bibirnya. Yang membuat Arsila seketika menatapnya penuh waspada. "Bisa kasih cucu secepatnya."

Sang Pemilik Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang