8. Waktu yang seakan terhenti

4.1K 269 11
                                    

Arfan baru akan menghubungi sekretarisnya Hendrik untuk menyiapkan makan siang, namun dering ponsel di samping tangannya membuat gerakan tangannya terhenti. Dia langsung menoleh dan menatap ponselnya yang ternyata mamanya lah yang muncul di sana, orang yang menghubunginya saat ini.

Arfan mendesah putus asa, tak urung tanganya tetap terulur untuk mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Arfan?"

"Ya, Ma?"

"Kamu masih di kantor?"

Arfan bergumam mengiyakan dengan ekor mata melirik ke arah jam dinding yang berada di ruanganya. Karna tumben sekali mamanya bertanya di jam makan siang seperti sekarang, di jam yang seharusnya mamanya tahu jika Arfan tidak mungkin berada di luar saat jam kantor. Mengingat padatnya pekerjaannya akhir-akhir ini.

"Kamu sudah dengar belum kalau ayahnya Arsila koma?"

Arfan tidak bisa menutupi wajah terkejutnya. "Koma?"

"Arsila nggak cerita?"

Tidak. Seharusnya mamanya tahu bagaimana hubungan Arfan dengan Wanita itu selama ini. Lalu kenapa mamanya itu masih bertanya?

"Ini mama dan papa mau jenguk. Kamu mending ke sana juga sekarang. Jangan lupa sempatin Waktu buat jenguk."

"Mmm.. Arfan-"

"Dia mertua kamu, Arfan. Masa kamu nggak mau sempetin Waktu buat jenguk sih?"

"Iya, Arfan bakal jenguk nanti."

"Sekarang, Arfan! Bukan nanti."

"Iya, tapi-.. Hallo, Ma?" Arfan mendengus saat panggilan telpon terputus secara sepihak. Membuat dia menatap ponselnya itu tak percaya. Bagaimana mungkin mamanya itu memutuskan panggilan begitu saja tanpa bertanya Arfan memiliki Waktu senggang atau tidak?

"Ckk." Arfan melemparkan ponselnya begitu saja. Kesal karna lagi-lagi mamanya itu bersikap semaunya.

"Pak,"

Arfan langsung mengangkat wajahnya ke arah sekretarisnya yang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu.

"Saya sudah mengosongkan jadwal Bapak sampai jam dua."

"Kenapa?" Arfan bertanya heran. Mengangkat satu alisnya tak mengerti.

"Tadi pak Ibnu minta saya mengosongkan jadwal bapak setelah jam makan siang. Katanya-"

"Sebenarnya bos kamu itu saya atau papa saya, Hendrik?"

Hendrik mengiris sungkan, menurunkan buku agenda di tanganya, menggenggamnya dengan kedua tangan. Menatap atasanya itu dengan raut wajah menyesal.

Arfan berdecak kesal, terlihat jelas jika saat ini dia tampak tak terima dengan apa yang sekretarisnya itu lakukan. Namun dia pun tidak bisa melakukan apa pun selain segera bangkit dan menyambar jasnya.

"Pastikan lain kali hubungi atasamu lebih dulu sebelum mengambil tindakan tentang apa pun, Hendrik! Itu pun jika kamu tidak ingin kehilangan pekerjaanmu." Sindir Arfan berlalu. Melewati sekretarisnya begitu saja hingga membuat Hendrik kian menunduk dalam. Sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya sampai terdengar suara pintu tertutup di belakangnya. Menandakan jika atasannya itu sudah berlalu pergi.

***

Tak butuh waktu lama bagi Arfan untuk tiba di rumah sakit tempat di rawat ayah mertuanya. Mertua? Sejak kapan Arfan berpikir begitu?

Menghembuskan nafas kasar, dia sempat ragu masuk ke dalam ruangan di depannya, karna itu dia berdiri di sana beberapa saat. Menatap pintu di depannya lama sebelum memegang pintu dengan ragu. Tapi belum sempat dia memutar gagang pintu, pintu sudah terbuka dulu dari dalam. Wajah Wanita yang ia ketahui sebagai ibu dari Wanita yang tak pernah Arfan sukai keberadaannya mendadak mucul di depannya. Membuat Arfan langsung menarik tangannya dan menatapnya kikkuk.

Sang Pemilik Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang