3. Kepingan rasa

3.9K 250 10
                                    

Ada ramai yang bising, yang masuk ke dalam gendang telinga juga membuatnya setiap kali berada di sana-diantara kebisingan itu. Arfan merasa jenuh, bosan juga enggan untuk bertahan lebih lama di sana. Tapi segala ancaman-ancaman ibunya juga adiknya membuat ia tahu jika dia tidak akan bisa beranjak dari sana sampai acara malam ini usai. Beruntungnya dia datang terlambat karna meeting yang tidak bisa di tinggal. Menyebabkan dia hadir disaat acara bahkan sudah mulai sedari tadi. Jadi Arfan tidak perlu ikut diacara inti, dia bahkan memilih sedikit menjauh.

Bahkan demi membuang rasa jenuh yang hadir, yang membuatnya nyaris mati bosan. Arfan memilih berdiri di sudut ruangan alih-alih duduk di jejeran kursi khusus yang telah di sediakan untuk keluarga inti sepertinya. Meraih salah satu gelas minuman yang dibawa oleh seorang pelayan-yang melewatinya. Dia menegak minuman itu, mengangkat wajahnya dan mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan.

Ada banyak tamu undangan malam ini, sama persis seperti pertunangannya dulu-yang berhasil membuat kedua orangtuanya mengundang banyak tamu, kerabat juga para kenalannya. Malam ini pun sepertinya kedua orangtuanya melakukan hal serupa. Terbukti dengan adanya banyak tamu undangan yang memenuhi hotel yang mereka booking malam ini.

Arfan mendengus, memalingkan wajahnya sebelum meneguk minuman di gelasnya hingga tandas. Namun gerakan tangannya yang hendak menurunkan gelas terhenti saat melihat mamanya melangkah ke arahnya. Menatapnya marah bercampur kesal.

"Hai, Ma." Sapanya untuk pertama kali, sebelum mamanya menegur juga mengomelinya. Hal yang saat ini bisa Arfan lihat hanya dengan menatap ekspresi wajah mamanya yang terlihat kesal itu.

"Kamu apa-apaan sih, Fan!"

Teguran itu hanya Arfan balas dengan helaan nafas Panjang.

"Kamu tahu ini acara penting adik kamu, Kan? Tapi apa ini? Kamu datang disaat acara bahkan sudah hampir selesai?"

"Arfan sibuk, Ma."

Gina melotot. "Kamu nggak ada alasan lain selain kerjaan apa, Fan?! Kamu-"

"Ma,"

Segala omelan kekesalan juga amarah Gina seketika Kembali tertelan saat putri semata wayangnya menyela. Memeluk lengannya erat dengan ekspresi wajah memelas. Yang seketika membuat Gina kian menatap putranya penuh dendam.

"Kasih tahu kakak kamu ini, kalau dia masih mau jadi anak mama. Suruh dia ikut mama sekarang!" Seru Gina menahan geram. Segera berbalik sebelum semua emosi yang sejak tadi memenuhi dadanya meledak saat ini juga.

"Mas puas?"

Arfan hanya diam beberapa saat, menatap punggung mamanya yang melangkah menjauh. Baru setelah itu mengalihkan pandangannya ke arah adik satu-satunya yang ia miliki saat ini. Yang setidaknya selalu membuat kedua orangtuanya bangga. "Apa?"

Kalish memutar bola matanya malas. Menatap kakak satu-satunya yang ia miliki dengan ekpresi jengah. "Berhenti membuat masalah, Mas! Mas nggak kasian sama papa dan mama?"

Arfan hanya mengangkat bahu acuh. Melenggang begitu saja, sama sekali tidak berniat untuk meladeni omelan adiknya. Yang dia Yakini pasti akan sangat menyakiti telinga.

"Mas percaya karma?" Kalish memutar tubuhnya, menatap punggung kakaknya yang kini menghentikan langkahnya. Pria itu tampak diam di tempatnya.

"Kalaupun bukan mas yang menanggung karma itu, jangan lupa kalau mas punya aku."

Arfan mengepalkan tanganya erat. Diam tanpa berani berbalik apalagi memutar tubuhnya.

"Mas dengar kalau-"

"Nggak akan ada karma! Apalagi kalau sampai yang menanggung orang lain." Arfan memutar tubuhnya. Menatap tajam adiknya yang kini balas menatapnya berani.

Sang Pemilik Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang