"Mbak Silla?"
Arsila menoleh ke sumber suara, menemukan adik iparnya yang berlari ke arahnya dengan wajah panik bercampur cemas.
"Mbak, Gimana Mas Arfan? Dia udah nggak papa, kan? Dia baik-baik aja, kan?"
Sederet pertanyaan tanpa jeda dari adik iparnya itu hanya dibalas Arsila dengan senyuman. Tanganya terulur guna marih gelas dan mengisinya dengan air, setelahnya ia pun mengulurkannya pada adik iparnya yang masih terlihat panik itu.
"Minum dulu."
Kalish menurut, menegak air di tangannya hingga tandas, baru kemudian menatap kakak iparnya penasaran.
"Mas Arfan nggak papa kok."
"Beneran?"
Arsila mengangguk tegas, membuat Kalish menghembuskan nafas lega mendengar itu.
"Aku panik banget pas dengar mas Arfan minum kopi. Mana posisiku tadi pas lagi di bogor. Aku langsung hubungi Om Jayan." Om Jayan adalah dokter keluarga-yang Arsila yakin jika dokter yang usianya tak muda lagi itu lah yang menangani suaminya tadi.
"Untungnya Om Jayan bilang kalau mas Arfan sempet muntah-muntah di jalan. Dan dia cepet Om Jayan tangani, kalau nggak aku pasti udah mati berdiri karna denger dia minum kopi."
Rasa bersalah itu seketika hadir, memenuhi relung hati Arsila saat mendengar penjelasan singkat adik iparnya. Sebegitu cerobohnya dia hingga hampir membuat suaminya dalam masalah. Arsila hanya bisa menggigit bibir bawahnya resah. Kian merasa bersalah.
"Maaf, semua salah, mbak. Kalau pagi tadi mbak nggak-"
"Nggak ada yang nyalahin kamu."
Kalish menoleh, menemukan kakaknya yang menuruni anak tangga dengan pakaian santainya. Kedua matanya memicing dengan kaki melangkah ke arah kakak lelakinya itu dengan tergesa. Lalu tanpa ragu melayangkan pukulan bertubi-tubi pada lengan juga bahunya.
"Mas apa-apan, sih? Udah tahu alergi kopi segala minum kopi! Kalau memang mas udah bosen hidup. Nggak gini dong, Mas. Caranya!" Omel Kalish. "Mas mau buat kita semua mati jantungan? Iya?!"
"Untung ya, Mas. Mama sama Papa nggak tahu. Coba kalau tahu, aku yakin mas pasti udah di sidang!"
Arfan berdecak. Abai dan memilih melewati adiknya dan melangkah ke arah wanita yang sejak tadi tampak kian menatapnya murung. Yang entah mengapa tidak Arfan sukai wajah itu terlihat murung.
"Berisik banget, sih, Lish! Orang mas udah nggak papa juga."
"Nggak papa gimana? Mas tadi hampir mati di pinggir jalan, kan? Mana sok-sok-an nggak mau di bawa ke rumah sakit lagi. Mas beneran udah bosen hidup, ya? Beneran mau bunuh diri dengan minum kopi?" Cerca Kalish habis-habisan. Mengekori kakaknya yang kini melangkah ke arah dapur. Namun keningnya mengernyit saat menemukan kakaknya berdiri di depan kakak iparnya. Secepat kilat dia langsung berdiri di depan kakak iparnya itu. Menghalau kakak lelakinya yang pasti hendak menyalahkan kakak iparnya.
"Ini bukan salah mbak Silla. Ini murni salah, Mas! Udah tahu mbak Silla nggak tahu kalau mas alergi kopi. Kenapa mas nggak bilang?"
Arfan hanya memijit pelipisnya mendengar deretan kata adiknya yang seakan menghakiminya itu.
"Jangan bilang kalau semua ini niat mas buat minta pisah dari mbak Silla? Mas! Mas tahu nggak sih kalau mas sampai mas begitu. Aku nggak akan tinggal diam! Aku akan-"
"Astaga! Kalish! Kamu ngomong apa, sih?!"
"Apa? Aku ngomong bener, kan? Mas itu jahat banget tahu, nggak?! Nggak kasihan apa sama mbak Silla yang bertahun-tahun jadi istri, Mas? Mbak Silla bahkan nggak pernah menutut apa pun dari, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemilik Hati (SELESAI)
RomanceJodoh? Adalah satu kata yang mengerikan bagi Arfan. Sejak mengalami patah hati yang mendalam. Karna ditinggalkan oleh tunangannya di hari pernikahannya. Kini Arfan dihadapkan langsung dengan kerumitan pernikahannya yang awalnya hadir tanpa rasa cint...