Arfan tidak menemukan wajah lain selain murung di sana. Sejak kepergian mertuanya, istrinya itu lebih banyak diam. Lebih banyak melamun dan murung.
Di sana memang masih ada senyum, walau tidak selepas biasanya, masih ada wajah yang seakan baik-baik saja, walau tidak ada lagi tawa yang menyambutnya sepulang bekerja. Lebih parahnya, dia bersikap baik-baik saja, padahal Arfan tahu jika segalanya tidak sesederhana itu.
Hari itu dia menangis dalam dekapan Arfan, tapi setelahnya dia tampak tegar dan baik-baik saja. Seolah dia bisa mengatasi segala rasa sakitnya. Dia seolah terbiasa. Tidak ada lagi air mata juga aduan atas kesakitannya. Tidak ada lagi keluhan atas segala yang ia rasakan.
Akan jauh lebih baik jika dia memperlihatkan jika segalanya tidak sesederhana itu. Lalu, setelahnya mereka akan mencari solusi. Walau Arfan tahu jika semua tidak sesederhana itu. Arfan pernah kehilangan wanita yang sangat ia cintai. Pernah ditinggalkan begitu saja tanpa permisi.
Rasanya sakit, kecewa dan ... Dia sering bertanya-tanya di mana letak kesalahannya. Sampai dia ditinggalkan begitu saja. Arfan bahkan kehilangan semangat hidup. Dia hidup tapi seperti orang mati. Di hidupnya saat itu hanya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Dia mengabaikan semua orang di sekitarnya. Dia acuh pada semua orang di sekelilingnya. Sampai, Arsila datang. Merubah segalanya.
Dia mulai tahu ke mana arah hidupnya setelah ini. Dia mulai paham harus bagaimana ke depannya.
Tapi, semua butuh waktu. Semua butuh kerja keras. Bagaimana wanita itu bahkan harus melewati banyak hal.
Dan, sekarang. Istrinya berada di titik itu. Hanya saja dia memilih diam. Memilih pura-pura tidak terjadi apa pun. Seolah-olah segalanya baik-baik saja. Lalu, apa yang harus Arfan lakukan untuk membantu wanita itu?
"Gimana keadaan istri kamu?"
Arfan yang hari ini kebetulan kedatangan Mamanya pun hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu. Dia bahkan tidak sadar jika sadari tadi melamun. Dia menunduk, kembali menggeluti pekerjaannya.
"Dia pasti sedih sekali, Fan. Kamu harus hibur menantu Mama itu. Dia sedari dulu sangat menyayangi Ayahnya, kan?"
Bagaimana cara dia menghibur istrinya kalau istrinya sendiri bahkan tidak mengatakan apa-apa?
Itu adalah hal yang mengganggu Arfan akhir-akhir ini. Saat pemakaman, dia memilih menangis bersama Ibunya, mereka saling memeluk dan seakan takut kehilangan satu sama lain. Lalu, saat Arfan datang. Dia hanya diam. Hanya menatapnya lama. Lalu, tersenyum. Tapi, senyum itu tidak sampai ke mata. Kedua mata itu menatap sebaliknya.
"Atau, kamu ajak liburan aja gimana?"
Arfan masih diam. Tapi, otaknya mulai menimbang tawaran Mamanya itu.
"Kalian kan belum pernah liburan berdua, Fan. Kali aja dengan begitu menantu Mama akan kembali happy. Dia juga kan lagi ngandung cucu Mama, Fan. Kamu jangan cuek-cuek dong jadi suami." Gina menatap putranya itu kesal. Yang sedari tadi hanya diam dan tak bergeming.
"Fan!"
Arfan berdecak. "Nanti Arfan pikirin deh, Ma." Jawabnya sekenanya. Pandangannya masih tertuju ke arah berkas di depannya itu.
"Pikirin? Direalisasiin dong, Fan! Di lakuin! Bukan cuman dipikirin! Kayak papa kamu bisa nggak, sih, Fan, kamu itu? Yang manis jadi suami. Yang romantis." Kedua tangan Gina bergerak di depan tubuhnya, gemas, memberi arahan yang sayangnya sama sekali tidak dihiraukan oleh putranya. Arfan malah masih asik membelai-belai berkasnya itu.
"Iya, iya, Ma. Iya." Jawab Arfan yang membuat Gina merasa kepalanya pusing. Putranya itu kelewat santai sampai dia bahkan tidak bisa bersikap manis sedikit pun. Terutama pada istrinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemilik Hati (SELESAI)
RomansaJodoh? Adalah satu kata yang mengerikan bagi Arfan. Sejak mengalami patah hati yang mendalam. Karna ditinggalkan oleh tunangannya di hari pernikahannya. Kini Arfan dihadapkan langsung dengan kerumitan pernikahannya yang awalnya hadir tanpa rasa cint...