29. Rasa yang terkikis

3K 230 5
                                    

"Gimana, udah mendingan?"

Arsila yang berbaring miring, dengan suaminya duduk di belakangnya, memijit tengkuknya pun membuka matanya.

Mualnya sudah sedikit mendingan, terutama saat dia menjauh dari dapur. Dan Arfan memijitnya lembut, membuat keadaannya berangsur-angsur pulih.

"Hmm,"

"Yakin nggak mau ke dokter?"

Arsila menggeleng lemah, sedang Arfan di belakangnya hanya mampu menghela nafas panjang. Dia ikut berbaring miring seperti istrinya itu. Sejak mereka masuk ke dalam kamar, istrinya itu berbaring di sana. Wanita itu tidak mau membuka suara. Dia hanya akan bicara ala kadarnya. Itu pun saat Arfan bertanya, jika Arfan diam. Istrinya itu pun ikut bungkam dan diam.

"Maaf, kehamilan ini pasti menyulitkanmu, ya?" Bisik Arfan, merapatkan tubuhnya dan mengangkat sedikit kepala itu untuk berbaring di lengannya. Dia membawa tubuh itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

Arsila diam. Namun sesuatu yang sejak tadi terasa ia tahan dalam dadanya terasa naik ke permukaan. Semua yang ia rasakan sejak tadi seakan benar-benar naik dan membuat perasaannya tak menentu.

"La, katakan sesuatu agar-"

"Mas, aku mau sendiri. Boleh tinggalkan aku sendiri?"

Arfan hanya menatap punggung itu lurus.

"Tolong, Mas. Aku mau sendiri."

Arfan menarik nafas dalam, menunduk guna mencium pelipis itu. Lama. "Oke," Dia berbisik lirih. "Panggil Mas kalau kamu butuh sesuatu, hmm? Mas ada di bawah."

Arsila diam. Bungkam hingga ranjangnya terasa bergerak, di susul langkah kaki yang bergerak menjauh yang menandakan suaminya telah keluar dari kamar.

Tangis itu keluar, air mata yang sejak tadi ia tahan berlomba-lomba turun. Membasahi pipinya dengan isak yang terasa menyesakkan dada.

Dia kesakitan.

Tapi, dia tahu, berisiknya tidak akan berarti apa-apa.

"Enak, ya, jadi istri orang kaya?"

Malam itu, Arsila hanya manarik sudut bibirnya tipis di depan para tamu undangan. Juga keluarga pria yang kini telah resmi menjadi suaminya.

"Mimpi apa bisa nikah sama orang kaya?" Wajah itu menoleh ke arahnya. menatapnya dengan wajah sinis yang begitu ketara. Sedang pria yang berdiri di sampingnya hanya diam. Tidak mengatakan apa-apa saat hampir seluruh tamu menyindir juga membicarakannya. "Ini, Tante nggak tahu harus ngasih kamu selamat atau turut sedih, Fan."

"Tapi, Tante berharap kamu setelah ini bahagia, ya? Entah itu tetap melanjutkan pernikahan konyol kamu ini atau menggantinya dengan yang baru. Masih banyak loh, wanita di luar sana yang mau jadi istri kamu."

"Terima kasih, Tan."

Ada banyak hal, yang sering Arsila terima yang berusaha ia abaikan selama ini. Karna dulu, dia baik-baik saja. Luka dan sakitnya hanya ia anggap sebagi teman jalan hidupnya. Lagi pula dia berhutang banyak hal pada keluarga suaminya itu. Tapi, akhir-akhir ini, sakitnya tak tertahan lagi. Besarnya cintanya yang dulu, lambat-laun terasa terkikis. Kian menipis saat tahu, jika sejak awal, ini bukanlah tempatnya.

Dan mungkin, hutang budi tidak harus ia bayar dengan mengorbankan hatinya.

Wanita itu pun telah kembali-yang mungkin sebentar lagi. Yang mungkin akan segera mengambil alih dunia suaminya. Arsila hanya menunggu waktu untuk dibuang. Di campakkan seperti ucapan saudara-saudara pria itu.

****

Sedang di lantai satu, semua orang berkumpul di ruang tengah begitu mendengar suara berisik dari dapur tadi. Namun mereka tak sempat mengetahui apa yang terjadi karna Arfan telah membawa Arsila masuk ke kamar tanpa menjelaskan apa-apa pada semua orang.

Sang Pemilik Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang