Beberapa tahun yang lalu.
***
Senyum itu untuk pertama kalinya Arfan temukan, begitu pun wajahnya yang memang benar-benar asing baginya. Yang entah bagaimana bisa mau begitu saja setuju dengan keinginan ayahnya. Di mana dia harus menggantikan seseorang yang telah membawa seluruh hatinya.
Arfan menolak. Telah menolak berkali-kali pada ayahnya. Mereka bahkan sempat berdebat sengit. Sempat bertengkar hebat hingga Arfan kalah telak karena memang dia bersalah di sini. Dia harus mempertanggung jawabkan sesuatu yang bisa saja membuat keluarganya menaggung malu.
Calon istrinya kabur, melarikan diri-yang Arfan sendiri tidak tahu apa alasannya dan apa kesalahan Arfan. Namun ada sesuatu yang membuat Arfan yakin jika wanita itu lari bukan karena alasan yang sederhana. Mereka saling mencintai, bahkan bisa berada di sini. Berniat menikah juga bukan sesuatu yang mudah yang bisa mereka raih dengan mudahnya.
Banyak hal yang mereka lewati dan lalui. Di titik yang selama ini mereka tunggu juga harapkan ini, tidak mungkin wanita yang sangat dia cintai itu pergi begitu saja, kan? Jadi, Arfan yakin ingin mencari tahu, menunggu hingga dia tahu jawaban apa yang akan diberikan calon istrinya itu. Yang membuat wanita itu lari dan memilih pergi.
Namun seakan tak peduli, tak ingin tahu dan tak ingin mendengar. Ayahnya tetap keukeh jika Arfan harus menikah detik ini juga. Meski bukan dengan kekasihnya, pujaan hatinya. Yang artinya dengan seseorang yang telah ayahnya pilihkan untuknya. Yang menurut ayahnya wanita itu sangat cocok dengan karakter Arfan selama ini. Yang senang mendebat juga terlalu keras kepala.
Marah? Arfan bahkan sudah tidak lagi bisa marah.
Rasa-rasanya segala amarahnya telah berada di puncaknya. Hingga membuat Arfan tidak tahu lagi harus mengekspresikan keadaannya saat ini. Bagaimana mengungkapkan segala amarahnya yang sudah berada di puncaknya. Mengungkapkan segala amarahnya hingga tanpa sisa.
Jadi, dia tatap wajah yang kini menatapnya lurus itu. Wajah yang untuk pertama kalinya, saat Arfan lihat dan tatap. Langsung berhasil membuat Arfan muak. Dia benci dengan wajah wanita yang berlagak polos. Namun sebenarnya mudah berkamuflase, tidak benar-benar polos karena mungkin akan ada banyak hal kotor dalam otak wanita itu.
Contohnya sperti saat ini. Katika Arfan menanyakan apa alasan wanita itu menikah dengannya. Jawaban wanita itu bahkan membuat Arfan kian muak.
"Jika hanya karena uang, saya bahkan bisa memberikan kamu lebih dari apa yang ayah saya berikan." Arfan mengatakan itu hanya dengan satu tarikan nafas. Menatap wajah yang sejak tadi menatapnya dengan senyum lembut-namun enttah mengapa malah membuat Arfan bertambah muak.
"Pak ibnu adalah orang yang baik. Beliau-"
"Baik?" Tanya Arfan sinis. "Memangnya apa yang ayah saya tawarkan pada kamu jika kamu menikah dengan saya? Ayah saya menjanjikan kehidupan yang layak untuk kamu? Iya?"
Senyum itu masih bertahan. Yang semakin membuat Arfan benci dan merasa marah.
"Apa orang-orang miskin seperti kalian ini tidak memiliki harga diri?" Saat senyum itu berangsur-angsur surut. Arfan menarik senyum sinisnya. "Bahkan rela menjual anak perempuannya hanya demi bisa hidup dengan baik."
"Mas,.." Suara itu berujar lembut. "Mas bisa bicara apa pun padaku, tentang aku. Mengatakan apa pun sesuka hati, Mas. Tapi tolong." Dia menggeleng.
"Jangan bawa-bawa siapa pun. Terutama keluargaku. Aku di sini yang ingin menikah dengan, Mas. Aku yang ingin menjadi istri, Mas. Jadi tolong."
Arfan tertawa kaku. Wajahnya kian sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemilik Hati (SELESAI)
RomanceJodoh? Adalah satu kata yang mengerikan bagi Arfan. Sejak mengalami patah hati yang mendalam. Karna ditinggalkan oleh tunangannya di hari pernikahannya. Kini Arfan dihadapkan langsung dengan kerumitan pernikahannya yang awalnya hadir tanpa rasa cint...