Tok!
Tok!
Tok!
Didengar ketukan pada pintu ruangannya, segera dialihkan pandangan ke sana.
Tak lama kemudian, sosok sang istri pun masuk.
“Selamat sore! Aku datang. Hihihi.”
Ketegangan dirinya karena membaca berkas kasus perceraian milik klien, rasanya seketika hilang setelah melihat Kenanga.
Apalagi, wanita itu menerbitkan senyuman manis kesukaannya.
“Lagi apa? Sibuk?”
“Masih memeriksa dokumen persiapan sidang.”
“Mau es krim? Kayaknya Om Leo lagi suntuk.”
Mendengar panggilan Om Leo yang diluncurkan sang istri, Mendadak ingatan kembali akan peristiwa tak menyenangkan dialami beberapa jam lalu.
Kepala pun juga tiba-tiba pening.
“Om Leo, kenapa?”
Kenanga tentu cukup peka untuk melihat perubahan ekspresi yang dilakukan sang suami. Terutama kening pria itu kian mengerut.
Tandanya tengah berpikir keras.
Kenanga jelas hafal beragam gestur suaminya karena selama tiga belas tahun menyukai pria matang itu.
“Ada masalah, Om Leo?”
“Mendekatlah, Kenanga.”
Dituruti segera perintah sang suami.
Diambil posisi berdiri tepat di samping Leo Wisesa yang menempati kursi kebesaran pria itu, sambil memijit-mijit bagian pelipis.
Seperti sedang ada beban pikiran yang rumit.
“Kenapa, Om Leo?” Kenanga bertanya santai dengan senyuman tetap terpasang di wajah.
Saat ingin melontarkan kembali pertanyaan, sang suami sudah bangun dan menaruh dua jemari tepat di depan bibirnya.
Alhasil, ia batal bicara. Mulut pun dikatupkan.
Kekagetan lantas menyerang mendadak oleh aksi sang suami yang mengangkat dirinya untuk duduk di atas meja kerja pria itu.
Leo Wisesa berdiri di antara kedua kakinya yang sudah dilebarkan. Tangan-tangan kokoh suaminya juga diletakkan di sampingnya guna mengungkung dan batasi pergerakannya.
“Harus saya hukum kamu, Kenanga.”
“Aku dihukum? Karena apa?” Dilontarkannya balasan dengan nada santai. Tentu sudah tahu apa yang membuat sang suami kesal.
“Kamu tidak tahu?”
Digelengkan kepala ringan, tanpa beban.
“Panggilan Om Leo untuk saya, belum kamu ubah dan itu mendatangkan masalah.”
“Masih tidak tahu?”
Kali ini, Kenanga terkekeh pelan.
“Panggilan itu manis, sayang kalau diubah.”
“Tapi mendatangkan masalah untuk saya.”
Sekesal apa pun gaya sang suami berbicara, mata pria itu tidak tajam menatapnya. Ditarik kesimpulan jika tak benar-benar marah.
“Masalah seperti apa, Om Leo?”
“Nenek dari klien saya mendengar kamu saat memanggil saya ‘Om Leo’, nenek itu lantas menyindir saya memiliki simpanan cantik.”
“Nenek itu mengomel juga, katanya saya lebih bagus menikah saja dibandingkan punya simpanan. Saya juga diberi nasihat panjang lebar sampai setengah jam.”
“Setelah puas menceramahi saya, nenek itu memberi tahu kawan-kawannya yang juga kumpul nenek-nenek cerewet.”
“Merek mendatangi saya satu-satu untuk ikut mengomel, sampai semua pengunjung resto melihat saya dengan keheranan.”
Kenanga tertawa kencang. Lucu mendengar semua celotehan sang suami.
Lalu, dikalungkan tangan ke leher Leo.
“Aku mau dihukum kayak gimana? Aku siap menerima hukuman dari Om Leo.”
“Apakah aku dihukum nggak boleh pulang selama seminggu dan menginap di rumah orangtuaku?” Kenanga pun menantang.
“Tidak ada hukuman seperti itu.”
“Saya tidak mau tidur sendirian di ranjang kita tanpa kamu, Kenanga.”
“Saya akan pikirkan hukuman apa yang cocok untukmu. Nanti malam saya beri tahu.”
Kenanga terkekeh kembali.
“Ubah dulu panggilan kamu untuk saya.”
“Aku harus manggil apa? Honey? Baby? My Husband? Atau Sugar Daddy?”
Mata sang suami membulat menatapnya. Dan ia tak bisa tidak tergelak kian keras.
“Mas Leo.”
“Kamu harus memanggil saya Mas Leo.”
“Hahaha.”
Baiklah, ekspektasi Kenanga bisa menganggap serius permintaannya, adalah kemustahilan.
Bagi wanita itu tidak akan serius.
Menunjukkan protes dengan lebih galak? Tak bisa.
“Mas Leo? Manis sekali.”
“Tapi, aku mau manggilnya yang lain, boleh nggak?”
“Memanggil saya apa?” Leo menaruh rasa curiga melihat senyum aneh istrinya.
“Boleh Papa Leo?”
“Papa Leo? Terdengar terlalu tua.” Diperlihatkan ketidaksetujuan.
“Papa Leo itu panggilannya merajuk ke pria yang akan punya bayi.”
Dicerna lebih mendalam ucapan sang istri, sebelum memberikan komentar.
“Aku hamil.”
Matanya jelas membeliak akan pemberitahuan sang istri.
“Bayi kembar.”
Belum hilang kekagetan, terjangan rasa kejut kembali membuatnya membelalak.
“Cocok ‘kan dipanggil Papa Leo?”
“Senang nggak mau punya anak?” Kenanga ingin tahu komentar suaminya.
“Eh nggak satu, tapi dua.” Diperjelas kembali.
“Program kita berhasil?”
Kenanga mengangguk penuh semangat. “Iya, Om Leo.”
“Eh, salah.”
“Papa Leo.” Dialunkan suara semesra mungkin.
“Cie, yang mau punya dua bayi sekaligus, bisa nggak nanti?” goda Kenanga.
“Bisa.”
“Kamu gendong satu, saya satu.”
Tawanya mengeras mendengar jawaban yang diberikan oleh sang suami. Lucu saja. Walau ia tahu pria itu serius akan apa diucapkan.
“Kalau kedua-duanya mau menyusui ASI berbarengan gimana, Papa Leo?”
Tampak raut kebingungan di wajah suaminya.
“Kita pikirkan jika mereka sudah lahir.”
Kenanga tak bisa berhenti tergelak, namun saat dirinya dipeluk, tawanya seketika lenyap.
Suasana pun hening karena tak ada yang diucapkan oleh suaminya. Hanya rengkuhan kian kencang dan rambutnya diusap-usap.
“Om Leo kenapa?”
“Agak tegang karena mau punya bayi.”
“Dua bayi.” Leo meralat ucapannya.
“Aku jadi kena hukuman nggak?”
“Tidak.”
“Kamu akan semakin saya sayang, Kenanga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...