“Sakit nggak?” tanya Kenanga sembari lebih lembut mengusapkan kapas di bekas luka Leo yang berdarah.Balasan yang diterima hanya gelengan kecil.
Dilanjutkan segera tugasnya. Tangan kian cekatan dalam mengganti perban.
Hitungan tak sampai lima menit, sudah bisa diselesaikan.
“Jangan banyak aktivitas dulu, nanti jahitan bisa terlepas.”
Kembali hanya didapatkan reaksi berupa anggukan pelan, tak terlontar sepatah kata dari mulut Leo Wisesa.
“Om Leo mau dirawat di sini?”
“Saya sudah sembuh.”
Kenanga diam. Sedang memikirkan cara agar Leo Wisesa mau mengikuti sarannya.
“Saya sudah sehat, Kenanga.”
Kenanga masih bergeming, namun tak sedetik pun atensi dipindahkan dari sosok Leo,
Dadanya kian bergemuruh oleh rasa sedih melihat kondisi pria yang dicintainya tak bugar seperti biasanya.
Tidak berjumpa selama sebulan, Leo Wisesa malah terkena musibah.
“Om Leo kenapa?” Kenanga menginginkan penjelasan atas keadaan pria itu.
“Pendakian gunung nggak lancar?” Masih berusaha ditebaknya.
“Benar.”
Detak jantung Kenanga mulai kencang, semakin merasa tegang akan mendengar cerita detail Leo Wisesa tentang malapetaka dialami.
“Pendakian gagal karena ada badai hebat.”
“Saya dan tiga pendaki lainnya terjun ke jurang.”
“Saya mengalami gegar otak ringan. Tidak sadarkan diri selama dua hari.”
“Menjalani perawatan di rumah sakit selama seminggu. Dan baru diperbolehkan pulang tiga hari lalu.”
“Saya tiba dari Swiss, tadi pagi.”
Kenanga seperti kesulitan bernapas untuk beberapa saat karena begitu menyesakkan baginya mendengar penuturan Leo Wisesa.“Ada lagi yang ingin kamu tahu, Kenanga?”
Hanya digelengkan lemah kepala sebagai reaksi. Tak bisa berkata-kata.
Namun, matanya sudah berkaca-kaca. Jelas dirundung sedih.
Dan ketika tangan Leo menangkup salah satu pipinya, tangis kian deras.
“Saya belum mati.”
“Jangan menangisi saya, Kenanga.”
Sembari menggeleng-geleng, dihapus jejak air mata yang membasahi wajah.
“Om Leo nggak boleh mati, aku akan hancur.”
“Saya belum mati, Kenanga.”
Leo memeluknya, maka segera direngkuh balik dengan erat.
Air mata keluar lagi, tanpa bisa dicegah. Isakan ditahan.
“Cukup mendaki-mendaki gunung. Jangan lagi. Om Leo sudah tua.”
“Cari olahraga yang nggak ekstrem.”
“Nyawa mahal. Jangan disia-siakan.”
Leo mendengar semua yang dicelotehkan Kenanga, namun ia belum ingin melepaskan barang sedetik pun waktu untuk memeluk wanita itu.
Benar-benar bisa melingkarkan tangannya di tubuh ringkih Kenanga. Bukan sekadar buai mimpi yang membuatnya tak bisa menyentuh.
Kerinduan yang dipendam selama tujuh hari belakangan, akhirnya bisa ditunjukkan nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...