“Selamat sore, Pa.” Kenanga menyapa sopan sang ayah di seberang telepon.Lalu, keberadaan dan kondisinya ditanyakan.
“Aku sudah di rumah sakit, Pa. Aku akan melakukan kuretase dengan Dokter Rita.”
“Aku baik-baik saja, Papa.” Kenanga tentu berupaya menunjukkan keadaan dirinya yang tak akan membuat orangtuanya cemas.
“Papa berangkat ke Amerika sejam lagi? Hm, hati-hati selama penerbangan, ya, Pa.”
“Semoga program kerja sama yang Papa dan Mama susun diterima mereka di sana.”
“Papa dan Mama juga nggak perlu khawatir dengan kondisiku di sini, aku pasti akan bisa menyelesaikan masalahku secepatnya.”
Kenanga lantas menerima wejangan dari sang ayah, meminta dirinya untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Ya, menyinggung rencana perceraian.
Pilihan terbaik adalah diam, tak memberikan komentar apa pun untuk saran dari ayahnya.
“Pa, aku harus lakukan pemeriksaan dengan Dokter Rita. Nanti kalau sudah selesai, aku telepon Papa, ya. Terima kasih, Pa.”
“Aku akan baik-baik saja.”
Klik.
Kenanga mematikan sambungan teleponnya pertama, tak akan sopan memang sikapnya, tapi ia ingin lekas mengakhiri pembicaraan.
Cukup sudah direpotkan sang ayah. Tidak mau dibebankan lebih banyak lagi dengan masalah pribadinya, disaat ayahnya juga memiliki tanggung jawab besar lainnya.
Terutama sebagai pimpinan rumah sakit dan juga universitas, tak mudah untuk mengurus keduanya secara bersamaan.
Tentang kebohongan yang melibatkan sang ayah dini hari tadi, dirinya cukup menyesal. Tak seharusnya diambil ide tersebut. Apalagi mengikutsertakan ayahnya ambil bagian.
Mungkin karena saking kalut dengan hasil pemeriksaan kesehatannya, ia ingin mengambil jalan pintas untuk segera bisa terlepas dari beban rasa bersalah.
Ya, terkhusus pada sang suami karena tidak akan bisa menjadi istri sempurna.
“Masuklah, Dokter Kenanga.”
Rasa kaget menyerang mendengar suara dari Dokter Rita, salah satu seniornya yang bertugas di rumah sakit sang ayah.
Dokter Rita yang menangani dirinya sedari awal, termasuk mengarahkan
“Saya langsung diperiksa, Dok?”
“Iya, Dokter Kenanga. Langsung berbaring, ya. Kita cek sekali lagi, sebelum memulai prosedur kuretase yang kita bicarakan.”
“Baik, Dokter Rita.”
Kenanga bergegas masuk ke kamar mandi, ia harus mengganti pakaian terlebih dahulu.
Kaus dan juga celana panjang dibuka cepat, diganti dengan kimono pasien yang sudah disiapkan oleh perawat sebelumnya.
Kenanga seketika termangu, manakala atensi tertuju pada perutnya. Rasa sesak tiba-tiba pula menghantam dada dengan kuat.
Teringat fakta bahwa dua calon bayinya tidak lagi bernapas di dalam sana. Nyawanya telah tiada. Tak ada detakan jantung sama sekali.
Semalaman, Kenanga menangis terus. Tapi rasanya air mata mampu tumpah deras kembali guna meratapi kemalangannya.
Namun, ia tengah berpacu dengan waktu. Dokter Rita tengah menunggunya di luar
Kenanga pun melangkahkan kaki-kakinya yang terasa berat meninggalkan kamar mandi. Berjalan ke arah ranjang pasien.
Dan sebisa mungkin berbaring dengan rileks. Membiarkan dua suster memulai pemeriksaan tensi serta hal lainnya, sebelum masuk ke tahapan utama proses kuretase.
“Semua stabil, Dok.”
Kenanga mendengar jelas laporan seorang perawat pada Dokter Rita.
“Siapkan obat bius, yang setengah sa–”
“Saya mau minta tolong, Dok.” Kenanga pun dengan cepat menyela perintah Dokter Rita.
“Apa, Dokter Kenanga?”
“Saya mau minta tolong, cek kehamilan saya sekali lagi.” Kenanga memohon serius.
“Mungkin kedua calon bayi saya masih punya detak jantung dan bisa diselamatkan.”
“Baik, Dokter Kena.”
Kenanga langsung merasakan ketegangan luar biasa karena permintaannya disetujui.
Prosedur pun dimulai.
Kenanga sudah menyugesti diri tetap tenang, tapi hatinya menolak untuk tentram. Justru kecemasan semakin menggunung.
“Detak jantung kedua janin tetap tidak ada.”
“Apa tidak mau diperiksa ulang, Dok?” bujuk Kenanga dengan segenap harapan besar yang masih dipercayai bisa terjadi.
“Mungkin ada detakan-detakan kecil,” imbuh Kenanga guna meyakinkan Dokter Rita.
“Itu tidak mungkin.”
“Hasilnya akan tetap sama, Dokter Kena.”
Kenanga pun mengembuskan napas panjang, saat serangan rasa sesak menghantam pada bagian dadanya lebih menyakitkan lagi.
Netra sudah semakin panas juga. Siap untuk meluncurkan lelehan-lelehan air matanya.
“Kita harus melakukan kuretase secepatnya sesuai jadwal yang sudah ada, Dokter Kena.”
“Saya ada pasien lain yang juga harus saya tangani, maaf jika kesannya saya buru-buru.”
“Baik, Dokter Rita.” Kenanga mengiyakan.
Tak lama, dirinya pun sudah dibius.
Dalam pengaruh anestesi yang telah diberi, pikiran Kenanga perlahan melayang. Kembali ke masa lalu, terkhusus mengingat satu per satu momen membahagiakan pernah terjadi di hidupnya dengan Leo Wisesa.
Rasa tertarik pertama kali tumbuh saat usia tujuh belas tahun, kala itu melihat Leo Wisesa di kampus ayahnya, mengajar sebagai dosen.
Kekaguman berkembang menjadi cinta yang tumbuh menerus, sampai lebih dari sepuluh tahun. Tentu dengan belbagai usaha untuk memikat hati seorang Leo Wisesa.
Beberapa kali mengajak berpacaran, selalu saja ditolak pria itu. Alasan bermacam-macam yang membuatnya tak bisa memaksa Leo Wisesa menerimanya sebagai kekasih.
Barulah, sekitaran delapan bulan lalu, hasil perjuangan meluluhkan pria itu membuahkan lamaran spesial untuk menjadi istri.
Sudah dibayangkan pernikahan yang ingin dibangun bersama Leo Wisesa bahagia, akan dimiliki beberapa buah hati juga tentu saja
Dominan anak laki-laki atau perempuan, tak jadi masalah untuk dirinya dan sang suami.
Kehamilan pertama bahkan langsung kembar. Tidak disangka pula bisa mengandung cepat, setelah beberapa bulan resmi menikah.
Namun, dalam hitungan jam saja, harapannya tak bisa direalisasikan menjadi nyata.
Calon bayi-bayinya telah tiada. Bahkan belum ada sebulan mereka hadir di dalam hidupnya.
Takdir indah belum berpihak padanya kali ini.
Belajar mengikhlaskan tengah diupayakan. Ia bukan jenis manusia yang mudah berlapang dada, perlu waktu untuk berdamai dengan kehamilannya yang harus usai lebih awal.
Tentu karena pengaruh obat bius, Kenanga tak sadar saat Leo Wisesa menerobos masuk ke dalam ruangan dengan cukup memaksa.
Pria itu berdiri tepat di samping sang istri dan menggenggam erat tangan wanitanya.
“Kamu tidak akan sendirian, Kenanga.”
.......................
Yokyok, komen yokkk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...