TIGA TAHUN KEMUDIAN ........."Sayang, sayang, sayang sekali."
Senandung kian Kenanga pelankan, saat melihat bayi manisnya sudah menutup mata. Walau belum berhenti dalam mengedot ASI.
Kenanga pun masih menepuk-nepuk pantat putra kecilnya agar tambah nyenyak tidur.
Setelah benar-benar lelap, barulah Ardrasa Wisesa Weltz akan ditaruh di boks bayi.
Sembari terus bernyanyi-nyanyi kecil, mata Kenanga mengawasi putra kembarnya yang lain, yaitu Ardrika Wisesa Weltz.
Buah hatinya itu tengah asyik bermain-main dengan bola-bola warna-warni. Dilempar, lalu merangkak mengambil satu per satu bola.
Pemandangan yang manis.
Tiga puluh menit lalu, Ardrasa masih ikut di sana. Namun karena merasa lapar, sang putra pun merengek dan minta ASI.
Kemudian, terlelap dalam hitungan yang tak sampai seperempat jam dengan lelapnya.
Sudah waktunya tidur siang juga.
"Gemas banget," ujar Kenanga amat pelan. Ia tak tahan tidak bicara saat melihat raut wajah polos Ardrasa yang tidur dengan nyenyak.
Satu kecupan masing-masing didaratkan di pipi-pipi gembul putra sulung kembarnya itu.
Baru kemudian, Kenanga bangun dari kursi untuk menaruh Ardrasa ke boks bayi yang besar, terletak di salah satu sudut kamar.
Dibaringkan sang buah hati dengan hati-hati karena enggan dibangunkan. Ardrasa tipikal yang cukup mudah untuk bangun.
Untung kali ini tidak terjadi.
Kenanga lantas bergegas menuju ke tempat bermain putranya satu lagi. Ardrika tetap saja anteng bersama bola-bola yang dimainkan.
"Nggak haus apa ini, Anak Mama? Terakhir minum ASI jam sebelas tadi. Udah dua jam."
Sang buah hati cekikikan senang, manakala diangkat dan dibawa dalam gendongan yang hangat. Kenanga mendaratkan juga kecupan manis di kedua pipi tembam Ardrika.
Lalu, diberikan ASI.
Putra kembarnya langsung mengedot dengan rakus. Ternyata sudah sangat haus. Namun, Ardrika tidak ada merengek dari tadi.
Cukup kontras dengan Ardrasa yang akan menangis, saat merasa lapar dan ingin ASI.
Ya, walau kedua buah hatinya kembar, lahir bersamaan, sejak bayi pun sikap mereka ada yang berbeda. Ia pun berusaha mengenali dan memahami sifat-sifat putranya.
Sampai hari ini, sembilan bulan usia kedua buah hatinya, Kenanga selalu menikmati setiap momen membesarkan mereka.
Memilih cuti setahun dari dunia kedokteran, adalah keputusan tertepat karena ia ingin fokus memerankan peran sebagai ibu.
Tidak mudah mengurus dua bayi sekaligus, apalagi saat meminimalisir peranan pengasuh untuk membantu. Lumayan lelah, terlebih lagi Ardrasa dan Ardrika semakin aktif saja.
Ya, mereka sudah bisa merangkak dengan lincah. Seluruh sudut ruangan tidur pun akan dieksplor jika dibiarkan bebas bergerak.
Kenanga memutuskan menempatkan kedua bayi kembarnya di area bermain yang dibatasi pagar agar tidak terlalu lelah mengawasi.
Seminim-minimnya tenaga dikeluarkan, tetap saja lumayan kerepotan karena ada dua bayi laki-laki kembar yang harus diawasi.
Walau menguras tenaga menghasilkan peluh tak sedikit, kebahagiaan jauh lebih banyak saat melihat Ardrasa dan juga Ardrika aktif.
"Sudah tidur juga, Sayang? Cepat banget."
Baru beberapa menit minum ASI, sang buah hati telah terlelap dengan lelap. Mendengkur kecil bahkan, setelah melepas putting-nya.
"Ini juga bikin Mama gemas." Kenanga tidak bisa hanya diam tanpa mencium Ardrika, saat melihat kepolosan ekspresi putranya.
"Tidur siang yang lama, ya."
"Mama mau masak dulu untuk kalian."
Sembari bicara, Kenanga berjalan ke boks bayi, yang telah ditempati Ardrasa. Akan ditaruh Ardrika di sampingnya, tentu dengan sekat bantal untuk memisahkan.
Kedua bayi kembarnya anteng tidur. Berapa kali mengabadikan momen seperti ini, tidak akan ada rasa bosan untuk Kenanga.
Sebelum meninggalkan kamar, ia pun sekali lagi memastikan Ardrasa dan Ardrika tidak akan bangun. Mereka memang lelap tidur.
Kenanga pun memantapkan diri untuk pergi dari kamar. Ia harus memasak MPASI untuk disantap sore nanti oleh kedua bayinya.
Sejauh ini, Ardrasa dan Ardrika tidak punya masalah dengan makanan. Tidak ada alergi.
Nafsu makan pun juga baik.
Dan ketika melewati ruang tidur utama yang ia serta sang suami tempati, ingatan pun muncul tentang kondisi pria itu.
Leo Wisesa demam sejak semalam. Memang tadi pagi panasnya sudah turun. Hanya saja, suhu tubuh sang suami belum dicek siang ini.
Tentu harus diperiksa kembali.
Terakhir ditengok Leo Wisesa, sekitaran tiga jam lalu, mengantarkan bubur untuk sang suami. Lalu, fokus mengurus kedua bayi kembar mereka yang membutuhkannya.
Kenanga pun masuk dengan hati-hati, tak mau berisik yang membuat suaminya bisa saja terganggu, jika tengah istirahat.
Sempat dikira pria itu masih tidur, namun ternyata sudah duduk di kursi malas.
Kenanga berjalan mendekat segera. Ia pun hendak melontarkan sapaan, namun tak jadi ketika melihat buku catatan rahasianya ada pada sang suami. Tengah pria itu baca.
Walau sempat kaget, tapi Kenanga tak akan marah. Walau semua yang tertulis semua di buku, berisi curahan hati terdalamnya.
Kenanga pun terus mendekat, sampai bisa disentuh kening sang suami dengan telapak tangan. Memeriksa suhu tubuh pria itu.
Namun belum ada lima detik pasca matanya dan netra Leo Wisesa bersirobok, Kenanga pun mengalihkan tanganny ke pipi kiri sang suami yang tampak basah amat nyata.
Kedua manik pria itu juga tampak berair.
"Papa Twins, kenapa?" tanya Kenanga guna memastikan apa yang menyebabkan sang suami sampai berkaca-kaca.
Kemudian, dilirikkan mata ke bukunya. Ia pun membaca judul-judul tertera di sana.
Berdamai Dengan Keguguran.
Bercerai, Tidak menyelesaikan Masalah.
Kenanga tentu sangat hafal apa saja yang dirinya ceritakan di bagian-bagian tersebut.
Ya, mulai dari lara hebat karena keguguran. Lalu niatan bercerai muncul setelah tahu ia akan sulit memberikan anak pada suaminya.
Trauma Leo Wisesa pun diketahui saat itu juga yang membuatnya memutuskan tak akan pernah meninggalkan sang suami. Ia enggan menorehkan luka bagi Leo Wisesa.
Hingga akhirnya bisa bertahan sampai kini, dalam rumah tangga yang mereka bina.
Kesabaran menanti buah hati selama dua tahun sembari menjalani pemulihan untuk gangguan kesehatannya, tentu membuahkan hasil membahagiakan karena kelahiran dari bayi laki-laki kembar mereka.
"Gimana dengan isi bukunya? Sudah cocok belum aku jadi novelis? Aku buat buku?"
Kenanga bermaksud bercanda sebab melihat sang suami sedang tegang. Diberikan pula pelukan hangat pada jantung hatinya itu.
.....................
Ada yang kaget + bingung sama alurnya? Yokyok, komen. Hahah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...