"Mamaaaa!" seru Kenanga saat sang ibu menerima panggilan video.
Lalu, terlihat dua buah hati kembarnya di kereta-kereta bayi.
"Ardra! Ardri!" Kenanga kembali berseru. Tangan dilambai-lambaikan.
Sayang, putra-putra kecilnya hanya menoleh sebentar.
Sudah asyik kembali dengan mainan masing-masing.
"Kapan sampai di Labuan Bajo, Nak?"
"Baru satu jam lalu, Ma." Kenanga menjawab cepat.
"Gimana Ardra dan Ardri? Nangis nggak, Ma?"
"Belum ada menangis, Kena. Mereka senang bersama Mama dan Papa di sini."
"Nikmati saja liburan kamu bersama Leo di sana, jangan mencemaskan anak-anak kalian."
"Mereka akan senang di sini bersama kami."
Sejak sang ibu bicara, Kenanga sudah tertawa. Gelakan pun mengencang mendengar kalimat paling akhir yang dilontarkan, sangat kentara bernada galak.
"Iya, Ma. Iya." Kenanga lekas menanggapi.
"Aku minta tolong jaga Ardra dan Ardri selama seminggu, ya," pesannya dengan serius.
"Lebih dari seminggu juga kami akan senang, Kena."
"Ih, jangan, Ma!"
"Aku nggak kuat, kalau pisah lama-lama dengan dua bayi gantengku."
Sang ibunda tertawa di seberang telepon. Didengar juga ayahnya terkekeh, walau tidak mengeluarkan satu patah kata untuk berkomentar.
"Setelah aku datang dari Labuan Bajo, aku akan jemput mereka, ya, Ma."
"Mama nggak boleh bawa-bawa kabur anakku." Kenanga lanjut bercanda.
"Kami akan terbangkan mereka ke Amerika, setelah passport mereka selesai, Kena."
"Nggak boleh, ya, Ma." Kenang pun membuat suaranya menjadi lebih galak dibanding tadi.
"Lagi pula, kamu akan punya anak lagi, kamu fokus dulu dengan cucu baru kami. Mama dan Papa akan jaga anak-anakmu, Kena."
"Masih lama lahirnya, Ma. Sekarang saja baru mau masuk dua belas minggu. Aku ka–"
Kenanga harus memotong ucapan karena ia kaget sendiri melihat pintu kamar yang tengah dibuka dari luar. Tentu oleh sang suami.
Tak boleh dilanjutkan pembicaraan ini dengan ibunya, bisa-bisa Leo Wisesa akan mencuri dengan percakapan di antara mereka.
Terlebih, belum diberitahukan ke sang suami perihal kehamilan ketiganya hingga sekarang.
Memang, akan direncanakan memberi tahu dalam waktu dua puluh empat jam ini.
"Mama, aku minta tolong titip Ardra dan juga Ardri selama seminggu kedepan, ya. Aku mau bulan madu yang manis dengan Mas Leo."
"Iya, Nak. Bersenang-senanglah di sana."
"Makasih, Ma. Aku tutup teleponnya dulu, ya. Aku mau kencan romantis dengan suamiku."
Sang ibu tentu tertawa kencang kembali di seberang telepon. Ia sukses menghibur dengan kalimat penutupnya sebelum diputus sambungan video di antara mereka
Reaksi sang suami? Tentu terkekeh juga, meski tidak ikut dalam berkomentar.
Kenanga cukup kagum dengan kemampuan terpendamnya dalam melontarkan candaan untuk orang-orang yang disayanginya.
"Bagaimana Ardra dan Ardri? Tidak rewel di sana mereka bersama Mama dan Papa?"
Sembari menggeleng, Kenanga pun berjalan ke arah sang suami yang duduk di sofa. Dan tak lupa mengambil kotak hadiahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...