“Saya undur diri dulu, Prof.”“Kerahkan kemampuan terbaikmu dalam operasi, Dokter Bratha. Selamatkan pasien.”
“Saya akan melakukannya, Prof.”
Saat atensi Bratha Dharmawangsa tertuju padanya, Kenanga menaikkan kedua sudut bibir untuk memerlihatkan senyum sopannya.
“Sampai jumpa besok malam, Dokter Kena.”
“Iya, sampai jumpa,” jawab Kenanga masih dengan ramah, layaknya rekan kerja.
Percakapan singkat mereka pun tak berlanjut karena Dokter Bratha sudah bangkit dari sofa dengan cepat. Terburu-buru juga pergi.
Kini, hanya tersisa dirinya dan sang ayah.
Kenanga pun memilih diam, menunggu saja pembicaraan dimulai oleh ayahnya lagi.
Setelah itu, ia akan pamit pulang karena jam jaganya di rumah sakit sudah berakhir.
“Dia orang yang baik, Nak.”
“Iya, Pa.” Kenanga menanggapi segera.
“Dia juga sangat pintar.”
Tak sampai lima menit rupanya, sang ayah sudah kembali berbicara. Mata orangtuanya berbinar memuji-muji sosok Dokter Bratha.
“Iya, Pa.” Kenanga berkomentar singkat lagi. Ia tidak cukup antusias membahas pria yang berencana dijodohkan dengannya itu.
Tak ada rasa spesial sama sekali.
Hatinya hanya untuk Leo Wisesa.
Namun, ia harus tetap melihat kenyataan. Terutama usianya yang sudah semakin dewasa, sudah menginjak akhir 20-an.
Orangtuanya paling cemas dengan statusnya tak memiliki kekasih. Sedangkan, usia sudah cukup untuk masuk ke jenjang pernikahan.
Setelah berulang menolak dijodohkan sejak dua tahun lalu, diputuskan untuk menerima.
Dirinya sudah pasrah sekarang.
Hubungan dengan Leo Wisesa tidak dapat diharapkan. Nihil kemajuan. Mustahil pula mendamba pria itu akan membalas cintanya.
“Kenanga …,”
“Iya, Pa?”
“Apa kamu bersedia Papa tunangkan dengan Dokter Bratha Dharmawangsa, enam bulan lagi, Nak?”
Matanya membeliak. “Enam bulan lagi, Pa?”
“Papa tidak akan memaksa jika kamu tidak mau, Kenanga. Keputusan ada padamu.”
“Aku akan pikirkan dulu, Pa. Aku belum terlalu kenal dengan Dokter Bratha. Aku butuh waktu untuk bisa memutuskan bertunangan.”
“Papa serahkan keputusan pada kamu, Nak. Papa tidak akan memaksamu, Kena.”
Kenanga hanya mengulas senyuman lebih lebar tanpa berkomentar apa-apa. Namun, lega karena sang ayah bisa memahami.
Sempat waspada jika dirinya diminta untuk mematuhi perintah. Untungnya saja tidak.
Ayahnya bukan tipikal yang otoriter, namun cenderung tegas dalam beberapa hal.
“Papa akan pulang sekarang, kamu akan singgah sebentar ke rumah, Nak?”
“Kayaknya nggak, Pa. Aku capek, mau cepat tidur. Besok aku dapat shift pagi.”
Sang ayah hanya mengangguk pelan.
Kenanga lekas bangun dari kursi. Mendekati meja kerja ayahnya untuk salim tangan.
“Hati-hati di jalan, Kena.”
“Iya, Papa,” jawab Kenanga segera sembari memeluk sebentar sang ayah.
“Pertimbangkan kembali Dokter Bratha. Papa akan senang dia menjadi menantu Papa.”
“Akan aku pertimbangkan, Pa.”
“Jangan lama-lama, Kenanga. Papa tidak mau dokter lain mendahului kamu, Nak.”
Kenanga terkekeh. “Kalau aku dan Dokter Bratha berjodoh, kami pasti bersatu, Pa.”
“Itulah yang Papa mau, Kena.”
“Semoga, ya, Pa. Kita lihat nanti.”
Di dalam hati, tentu tak akan diseriusi ucapan yang dilontarkannya. Ia hanyalah berusaha untuk menyenangkan hati orangtuanya.
Sebelum ayahnya mengoceh lagi mengenai perjodohan, ia harus segera pergi. Kaki pun melangkah cukup cepat ke pintu ruangan.
Langsung dituju eskalator untuk turun ke lantai satu. Tidak menggunakan lift, walau bisa hitungan detik sampai di UGD.
Ya, Kenanga akan singgah beberapa menit guna memantau kondisi di sana. Baru akan benar-benar ditinggalkan rumah sakit.
Dan ketika baru saja hendak masuk ke areal UGD, matanya menangkap sosok tinggi jangkung yang sangat tak asing baginya.
“Om Leo?”
Pria itu menoleh cepat padanya.
Lalu, sentakan rasa kaget menyerang ketika dilihat dahi Leo Wisesa diperban. Ada juga bekas luka di wajah pria itu.
Yang paling membuatnya terkejut yakni satu tongkat penyangga digunakan Leo Wisesa.
Dengan perasaan cemas, dihampiri cepat pria itu yang berdiri tidak jauh darinya.
Dan ketika hendak melontarkan pertanyaan berkaitan dengan keadaan Leo Wisesa, ia justru dipeluk pria itu begitu erat.
Ketegangan langsung menguasainya.
Entah kapan terakhir direngkuh kuat seperti ini oleh Leo, dirinya tidak ingat. Dan pelukan pria itu terasa amat posesif dari biasanya.
“Saya tidak ingin cuma berakhir di mimpi. Saya akan mewujudkannya.”
Kenanga mendengar bisikan Leo Wisesa, tapi tak paham dengan apa maksudnya. Dan saat ingin ditanyakan, pria itu malah tiba-tiba saja melemas di dalam rengkuhannya.
..........
Yok kita lihat perjuangan Om Leo. 🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...