“Profesor ada di dalam?” tanya Leo sopan pada staf yang berjaga.“Ada, Pak Dosen.”
“Apa saya boleh masuk dan bicara dengan Profesor Brama?”
“Akan saya tanyakan dulu ke Profesor.”
Leo hanya mengangguk. Lalu, bergegas ke kursi tamu untuk duduk sembari menunggu kabar akan permintaannya.
Jadwal mengajarnya masih dua jam lagi. Ia masih punya banyak waktu untuk bicara dengan orangtua Kenanga, Profesor Brama Weltz.
“Pak Dosen Leo?”
Langsung ditolehkan kepala ke asal suara, dari staf yayasan universitas.
“Profesor mengizinkan Pak Dosen Leo masuk.”
“Terima kasih, Bu Hani.”
Leo langsung menggerakkan kaki ke arah ruangan ketua yayasan. Tentu, tak bisa cepat karena masih memakai tongkat penyangga.
Bukannya bernapas lega karena kedatangannya tak ditolak, justru kian tegang.
Namun, keinginan sudah sangat mantap bertemu dengan Profesor Brama untuk membicarakan niatan menikahi Kenanga.
Dirinya harus bisa mendapatkan restu dan mengalahkan siapa pun pria yang ingin juga mempersunting Kenanga.
Tak akan dibiarkan wanita itu menjadi milik orang lain, disaat begitu diinginkan Kenanga untuk ada di hidupnya, sebagai istri.
Mimpi indah-indah berumah tangga dengan wanita itu akan diwujudkan di dunia nyata, tak bisa dibiarkan bias sebatas bunga tidur saja.
Lagi pula, Kenanga masih menyukainya. Ia hanya perlu berusaha sungguh-sungguh meyakini wanita itu untuk memilihnya.
Tok!
Tok!
Baru dua ketukan, sudah didengar sahutan Profesor Brama untuk masuk.
Gagang pintu segera diputar. Tentu, bisa dibuka.
Dibawa diri ke dalam ruangan dengan langkah pelan, tapi tak ada keraguan.
Mata langsung menangkap sosok Profesor Brama yang berada di meja kerja.
Diarahkan kaki melangkah ke sana dengan laju semakin cepat.
“Selamat sore, Prof.”
Profesor Brama mengulas senyum tipis padanya.
“Silakan duduk, Pak Leo Wisesa.”
Dituruti segera apa yang Profesor Brama perintahkan. Ditempati salah satu kursi di depan meja ayah dari Kenanga Weltz itu.
“Ada apa dengan Anda, Pak Leo?”
“Saya mengalami kecelakaan pendakian, Prof. Sekarang masih dalam penyembuhan.”
“Di mana Anda mengalami kecelakaan?”
“Di Swiss, saat mendaki gunung, Prof.”
“Semoga Anda lekas pulih, Pak Leo.”
“Terima kasih.”
“Tapi, bisa mengajar untuk kelas hari ini?”
“Bisa, Prof.” Jawaban Leo tegas dan sopan.
“Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Pak Leo Wisesa? Sepertinya hal penting.”
“Apa kelas yang Anda ajar ada masalah? Atau Anda kekurangan sarana mengajar?”
“Bukan tentang pekerjaan, Prof.” Leo pun dengan mantap menjawab. Tatapan lurus ke sosok Profesor Brama yang berwibawa.
“Lantas menyoal apa?”
“Mengenai putri Anda, Prof. Kenanga Weltz.”
“Saya ingin melamar Kenang menjadi istri saya. Dan saya menemui Prof untuk meminta restu dan izin menikahi putri bungsu Prof.”
Leo tidak pernah setegang ini sebelumnya, entah menghadapi sidang rumit di pengadilan ataupun masalah berat yang mendera hidup.
Namun, mengutarakan niatan serius untuk mempersunting Kenanga di depan orangtua wanita itu, merupakan momentum yang berhasil mengikis kepercayaan dirinya.
Dan diamnya Profesor Brama dalam waktu lama, meningkatkan kegugupannya. Duduk di kursi semakin tidak nyaman untuknya.
Menuntut jawaban segera, rasanya tak akan sopan untuk dilakukan. Pilihan tersisa hanya diam dan menunggu reaksi Profesor Brama.
“Pak Leo ingin menikahi anak saya?”
Dianggukan kepala mantap lebih dulu seraya menyusul jawaban tertepat dalam membalas pertanyaan diajukan ayah Kenanga.
“Benar, Prof.”
“Saya ingin menikahi putri Profesor Brama, satu bulan lagi, jika Prof mengizinkan.” Leo menegaskan dalam kesungguhan ucapannya.
“Satu bulan lagi? Kenapa begitu cepat?”
Kekagetan ditunjukkan Profesor Brama.
“Apa kamu menghamili anak saya?”
Kini, Leo yang dihantam keterkejutan atas tuduhan dilayangkan padanya. Profesor Brama pun kian bersikap defensif padanya.
Mencium Kenanga saja tidak pernah, apalagi tidur dan menyebabkan wanita itu hamil.
Memikirkan mengajak Kenanga bercinta saja belum terbersit untuk saat ini.
Fokusnya hanya ingin memiliki wanita itu segera, tak ada pria lain yang bisa merebut.
“Tidak, Prof.”
“Saya tidak menghamili Kenanga.”
“Saya ingin menikahi putri Prof secepatnya karena saya tidak mau kalah dari orang lain yang ingin juga meminang Kenanga.”
“Saya harus mendahului mereka.”
Tak lama, Profesor Brama merespons. Tidak dengan tanggapan, tapi tertawa. Walaupun hanya seperkian detik dikeluarkan.
Leo jadi kebingungan.
Apakah kata-katanya ada yang salah?
“Tenang, Pak Leo. Tidak usah tegang.”
“Saya tidak menghamili Kenanga, Prof.” Leo menegaskan kembali agar tak tertuduh.
“Prof boleh memeriksa saya, jika Prof tidak percaya saya tidak menghamili putri Prof.”
“Saya tahu, Pak Leo.”
“Profesor Brama mengizinkan saya untuk menikahi Kenanga? Saya akan serius dan bertanggung jawab penuh pada putri Prof.”
Leo ingin bicara lagi, namun Profesor Brama tiba-tiba saja bangun dari kursi.
Lalu, mengulurkan tangan padanya.
Walau masih keheranan dengan apa yang Profesor Brama lakukan, tetap diterima jabatan tangan orangtua Kenanga itu.
..............
Yokyok ramaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...