"Wah, aku makan banyak sekali."Kenanga takjub dengan dua menu utama dipesan di kantin rumah sakit, yakni nasi dan mie goreng. Semua dalam porsi cukup besar.
Tentu, kedua piring bersih tanpa sisa.
Perutnya pun kenyang, tak begah. Mual sama sekali tidak kambuh, seperti sempat diduga
Kontras saat tadi pagi, sarapan bersama sang suami, ia hanya bisa menyantap sedikit bubur dibuat pria itu, padahal rasanya enak.
Dan sebenarnya, ia merasa bersalah karena harus terus menjaga jarak. Berpelukan pun dari kemarin, gagal dilakukan dengan Leo.
Padahal sebelum hamil, setiap hari dan sang suami selalu bermesraan. Minimal saling berpelukan serta berciuman singkat, sebelum mereka berdua berangkat bekerja.
Sudah mau seminggu ngidam anehnya tak hilang, sempat berkurang kemarin saja. Itu mungkin karena didominasi perasaan cemas.
Sejak kemarin malam, malah kian parah. Ia dan sang suami harus pisah ranjang lagi.
Rencana bercinta sudah pasti gagal total.
Ada rasa kasihan pada Leo karena tak bisa memenuhi keinginan pria itu. Dirinya pun sudah rindu disentuh oleh sang suami.
Namun, jika dipaksa terus berada dekat-dekat apalagi berbagi ranjang, kondisinya seperti akan memburuk, mual tambah parah.
Sudah tentu berakhir dengan muntah-muntah.
Walau sang suami pasti kecewa, pria itu tak sekalipun menunjukkan sikap egois.
Leo Wisesa akan selalu pengertian. Berusaha memberikan perhatian padanya lebih ekstra.
Bagaimana bisa ia tidak jatuh cinta semakin dalam pada sang suami? Terlalu mustahil, dengan segala ketulusan ditunjukkan.
"Permisi, Dokter Cantik."
Kenanga yang hendak membalas pesan dari suaminya, seketika dihentikan, manakala mendengar sapaan ramah untuknya.
Atensi pun tertuju penuh ke sosok wanita tua energik yang berdiri di sampingnya
"Apa Oma mengganggu Dokter Cantik?"
"Tidak, Oma. Silakan duduk." Kenanga tentu merasa jika wanita paruh baya mendatangi dirinya karena memiliki tujuan khusus.
"Saya Gigina Suharti."
"Bisa dipanggil Oma Gigi."
"Salam kenal, Oma Gigi. Senang hari ini bisa bertemu dengan Oma."
"Saya Kenanga Weltz."
"Weltz? Apa Dokter putri bungsu dari Brama Weltz? Pemilik rumah sakit ini?"
"Haha. Iya, saya putri Bram Weltz dan Senaya Weltz." Kenanga sudah mulai nyaman bicara dengan Oma Gigi.
"Selain cantik dan menjadi dokter, rupanya sudah kaya dari kecil, Dokter Cantik."
"Yang kaya kakek dan Papa saya, bukan saya yang punya uangnya, Oma." Kenanga pun berusaha menanggapi dengan santai.
Biasanya nenek-nenek suka bicara terlalu apa adanya saat berkomentar, seakan-akan terdengar sebagai cibiran di telinga orang lain yang memang perasaannya cukup sensitif.
"Dokter juga pasti dapat warisan."
"Oh, iya, Oma Gigi mau minum apa? Pesan saja di sini, saya yang traktir."
Kenanga coba mengalihkan topik bahasan. Ia pun berusaha tetap bersikap sopan. Tak akan tersulut emosi karena pertanyaan bersifat privat. Lebih baik, tidak dijawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...