Part 24

4.1K 280 18
                                    


“Ruangannya yang nomor 56, di sebelahnya, Dok. Bukan yang kamar ini.”

Ucapan dari perawat Renata menghentikan seketika gerakan tangan Kenanga yang ingin membuka gagang pintu di depannya.

Lantas, dilihat nomor tertera, dua puluh lima, bukan lima puluh enam, tentu ia sudah salah.

“Ruangannya, di sana, Dok.”

Kenanga mengikuti cepat arah tangan dari sang suster, sambil dilangkahkan pula kaki mendekat ke kamar inap yang dimaksud.

Letaknya kurang dari lima meter. Ia pun bisa menjangkau ruangan yang dimaksud.

Kali ini, bergegas masuk, setelah mengetuk sebanyak tiga kali sebagai sikap sopan.

Saat dirinya melewati ambang pintu, didengar suara tangisan bayi-bayi saling bersahutan.

Langkah kaki yang awalnya mantap, tiba-tiba saja meragu untuk mendekati ranjang pasien dihuni oleh Drania Dharmawangsa.

Wanita berusia dua puluh tujuh tahun, yang menjalani operasi sesar tadi pagi. Melahirkan dua bayi kembar perempuan secara sehat.

Dirinya yang bertugas dalam persalinan.

“Selamat malam, Dokter Kenanga.”

Kehadirannya disambut dengan hormat, jadi sebisa mungkin harus ditampakkan sikap ramah, mengabaikan ketidaknyamanan hati yang membelenggu karea mendengarkan tangisan kedua bayi dari pasiennya. 

“Selamat malam juga,” sapa Kenanga balik, saat sudah berdiri di dekat ranjang.

“Bagaimana kondisi Anda, Bu Drania? Apa ada keluhan dengan jahitan? Atau yang lain?”

Sebagai dokter yang bertanggung jawab, ia harus memantau terus keadaan pasiennya setiap hari, sebab efek pasca operasi berbeda-beda untuk setiap wanita.

“Jahitannya aman, Dok. Saya juga sudah bisa jalan. Tidak cenat-cenut jahitannya.”

“Syukurlah.” Kenanga senang mendengarkan keadaan pasiennya yang membaik.

“Terima kasih sudah membantu saya dalam proses melahirkan, Dok. Sebelum operasi, saya kira saya tidak bisa melewatinya.”

“Sudah menjadi tugas saya, Bu Drania.”

“Ah, apakah boleh saya memberikan Dokter Kenanga hadiah kecil sebagai ucapan terima kasih? Dokter sudah berjasa membantu.”

Saat Kenanga ingin menolak, dirinya sudah disodorkan sebuah kotak dengan merek ternama, ia menebak isinya adalah tas.

Harus dihargai pemberian dari pasiennya.

“Terima kasih untuk hadiah ini,” ujar Kenanga dengan tulus. Senyuman kian merekah.

“Sama-sama, Dokter Kenanga.”

“Coba saja Dokter belum menikah, saya pasti akan menjadi mak comblang untuk Dokter dan kakak sulung saya. Kalian cocok.”

Yang dimaksud sebagai saudara oleh sang pasien adalah Bratha Dharmawangsa.

Tak diberikan tanggapan apa-apa, kecuali hanya melebarkan senyuman.

Kemudian, atensi Kenanga tertuju pada dua bayi kembar dari Drania Dharmawangsa yang masih menangis dalam gendongan pengasuh masing-masing. Kegelisahan kian menerpa.

Tangan-tangannya terasa dingin. Seolah, ia tengah menghadapi situasi yang berbahaya. Kewaspadaan pun meningkat tajam.

Bahkan, Kenanga teringat akan momen saat mengeluarkan bayi-bayi kembar itu dari rahim tadi pagi, menegangkan hingga kedua tangan bergetar manakala memegang mereka.

SUAMI 42 TAHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang