Pagi ini, Kenanga bangun dengan kondisi yang lumayan segar. Tak bergolak perutnya oleh terjangan rasa mual.Kepala juga lebih ringan dibanding kemarin.
Walau cukup membaik, tetap harus dievaluasi keadaannya sampai malam nanti. Dan juga beberapa hari kedepan, minimal seminggu.
Kehamilan di trimester pertama belum bisa dikategorikan aman. Hormon pastinya masih akan terus bergejolak. Ia harus tetap siaga.
Sejauh ini, tak ada masalah dengan nafsu makan. Tetap terjaga baik seperti biasa.
Apa saja bisa masuk. Walaupun tak semua makanan terbayang lezat di benaknya.
Kenanga memilih jenis masakan yang dapat menggugah selera, maka ia akan menyantap dalam porsi lumayan banyak.
Kemarin malam contohnya bisa dengan lahap menyantap kari ayam di restoran langganan.
Walau perut kekenyangan, satu kali pun mual tak menyerang, seperti ketika memandang wajah sang suami dalam waktu cukup lama.
Kenanga tahu dan sadar bahwa pemicu dari mualnya yang berlebihan, tak masuk akal.
Namun, memang begitulah terjadi. Ia sama sekali tak merencanakan akan merasa mual saat menatap atau berdekatan dengan Leo.
Padahal, suaminya itu sangat tampan.
Sebagai dokter obgyn, belum pernah ada ibu hamil yang curhat jika ingin jauh-jauh dari sang suami ketika mengandung.
Mereka cenderung suka bermanja-manjaan, termasuk pengalaman sahabat-sahabatnya.
Dirinya juga ingin begitu, tapi baru beberapa detik saja berdekatan dengan sang suami, perut sudah diserang pergolakan hebat.
Drrttt ....
Drrttt ....
Ponselnya bergetar, ada panggilan.
Segera saja diangkat telepon yang ternyata dari sang suami tersayang.
"Hai, Honey." Kenanga menyapa mesra.
"Sudah bangun? Jam berapa?"
"Baru saja, Mas."
"Saya buatkan bubur. Mau makan di kamar atau ruang makan?"
"Kayaknya di kamar, Mas. Lagi malas jalan keluar. Boleh nggak?" Kenanga tetap minta izin, bagaimana pun Leo yang punya rumah.
"Saya bawa buburnya ke kamar."
"Hihihi. Thank you, Honey."
"Minumnya apa? Susu atau air hangat?"
"Air hangat saja." Kenanga menjawab cepat.
"Oke."
Sang suami mengakhiri sambungan telepon lebih dulu. Ia pun bergegas turun dari ranjang selepas menaruh ponsel di atas nakas.
Melangkah cukup cepat ke kamar mandi guna pipis, membasuh wajah, dan gosok gigi.
Semua dilakukan dengan waktu yang singkat, tapi tetap saja durasinya lebih dari lima menit, secepat apa pun sudah berusaha.
Tatkala masuk kembali ke areal ruang tidur, sang suami rupanya telah datang.
Nampan berisi mangkuk bubur dan gelas air minum, tengah diletakkan pria itu di meja.
Kenanga pun memerhatikan lebih saksama penampilan suaminya, sebab tampak aneh.
Masih dicari-carinya pada bagian mana yang tidak biasa dari Leo Wisesa.
"Hahahaha."
Gelakan kencang spontan keluar saat sadar sang suami tengah memakai topeng karakter kartun. Tepatnya pahlawan super, spiderman.
Topeng tersebut menutupi seluruh wajah.
Sembari masih tertawa, didekati segera suaminya untuk melihat semakin jelas.
Namun masih ada bentangan jarak di antara mereka, karena tak mau mualnya kambuh karena mencium aroma maskulin dari parfum pria itu yang melekat kuat.
Kenanga jelas tak bisa tertawa, saat matanya tak salah menyaksikan tadi. Ia menyapukan jari ke wajah Leo guna memastikan lagi.
Sang suami benar-benar memakai topeng.
"Mas Leo, ngapain pakai yang kayak begini?" Kenanga yakin pasti ada alasannya.
"Saran sesat Affandra."
"Mas Leo disuruh pakai topeng gitu?" Diraih kesimpulan atas jawaban singkat suaminya.
"Dia menyarankan saya untuk pakai topeng supaya kamu tidak mual melihat saya."
Tawa Kenanga mengencang lagi.
"Mual tidak?"
Digelengkan cepat kepalanya. "Nggak, Mas."
"Kayaknya saran dari Kak Affa berhasil. Aku belum mual, biasanya sudah kalau lihat Mas Leo sebentar." Kenanga berpendapat jujur.
"Ada bagusnya, saya lakukan saran sesat dari dia. Langsung memberikan bermanfaat."
"Nggak panas pakai topeng begini, Mas?"
"Sedikit tidak nyaman. Seperti anak-anak."
Komentar jujur sang suami terdengar lucu dan menggemaskan untuknya.
"Nggak kok, Mas. Kelihatan bagus Mas pakai topeng kayak gini." Kenanga menggoda.
"Asal kamu tidak mual, saya senang."
"Belum merasa mual, Mas. Kayaknya nggak akan mual kalau lihat Mas Leo pakai topeng."
Sang suami ikut tertawa, walau sebentar.
"Mau makan sekarang?"
"Mas masak apa untukku?" tanya Kenanga seraya duduk di sofa. Atensi sudah beralih ke mangkuk yang berisi bubur polos.
Senyum terulas di ujung-ujung bibirnya.
"Mau dicoba?"
"Kayaknya enak. Aku mau makan." Dengan semangat dilontarkan jawabannya.
Lantas, sendok diambil. Menyuapkan penuh bubur ke dalam mulutnya. Dikunyah pelan guna merasakan tekstur dan rasanya.
Sesuai dengan selera.
Memang, tak usah diragukan hasil masakan sang suami yang punya pendidikan dua tahun di bidang kuliner, pastinya akan lezat.
Sendok demi sendok terus disuapkan tanpa jeda, hingga habis dengan cepat. Perutnya cukup kenyang, setelah tadi lumayan lapar.
Dan ketika didengar sang suami terkekeh, ia lekas memusatkan lagi atensi ke pria itu.
Leo Wisesa masih memakai topeng.
"Makan bubur buatan saya tidak membuat kamu mual?"
"Nggak, Mas. Soalnya enak." Kenanga pun memuji dalam nadanya yang mesra.
"Aku mau kasih Mas hadiah karena sudah memasakkan aku bubur yang enak."
"Hadiah apa, Baby?"
"Buka dulu topeng heroik Mas pakai."
"Nanti kamu mual lihat muka saya."
Kenanga lekas menggeleng-geleng. "Akan aku tutup mata saat Mas cium aku."
"Hadiahnya ciuman?"
Masih dengan gerakan mantap, kepala mengangguk-angguk. Lantas, kedua netra dipejamkan guna siap dicumbu sang suami.
Tak lama, dirasakan mulut pria itu menempel ke bibirnya. Dan dengan segera pula perut bergejolak, mual kembali datang tiba-tiba.
Belum sempat suaminya memulai ciuman, ia harus mendorong pria itu menjauh.
Bergegas juga pergi ke kamar mandi untuk muntah, tak tahan akan mual menyerangnya.
.................................
Yok ramaikan, mau up tiap hari nih. Hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...