“Papa cuma makan segitu? Tambah dong, Pa. Aku sudah masak susah-susah, nih.”“Papa sudah kenyang, Kena.”
“Oke, Pa.” Kenanga tak akan bisa memaksa sang ayah untuk mencicipi masakannya yang lain jika alasan tersebut sudah dikeluarkan.
Ya, saat perut sudah terisi penuh, makanan apa pun tidak akan bisa masuk lagi. Jadi, ia harus memaklumi penolakan ayahnya.
“Mama mau nambah lagi nggak?” Kenanga mengalihkan atensi cepat pada ibunya.
“Mama juga sudah kenyang, Sayang.”
Mulut sedikit dikerucutkan. Sedikit kesal.
“Mama dan Papa belum coba presto ikan yang aku buat.” Kenanga akhirnya protes.
“Aku susah-susah buat dari sore, eh malah nggak mau Papa dan Mama makan.”
Orangtuanya malah tertawa.
“Besok pagi kami makan, Sayang. Mama sudah tidak bisa makan lagi.”
Sang ayah mengangguk tanda setuju dengan apa yang dilontarkan oleh ibunya. Pasti saja akan kompak dalam memutuskan.
“Atau kamu mau bawa ke rumah Leo?”
“Eh apa, Ma?” Kenanga kaget sendiri.
“Kasih makanan yang kamu masak ke dia. Sekalian jenguk dia, Sayang.”
“Kamu bilang Leo belum sembuh total, Kena.”
“Iya, Ma. Om Leo masih belum pulih. Tapi, masa aku ke sana bawakan dia makanan?”
“Malam-malam lagi.” Kenanga tak terpikirkan.
“Bukannya kamu suka memasak untuk Leo?”
“Mama ingat kali terakhir kamu minta resep ayam lada ke Mama. Katanya mau masak untuk Leo. Sudah buatkan? Hasilnya bagus?”
Sang ibu sedang menggodanya.
“Sudah, Ma. Sebulan lalu. Enak hasilnya. Om Leo suka.” Kenanga menjawab malu-malu.
“Dia pasti suka presto ikan yang kamu masak juga, Sayang. Bawakan untuk dia.”
“Sana jenguk Leo, sebelum tambah malam. Tapi, tidak boleh menginap di sana, Sayang.”
“Mama kok semangat banget.”
Sang ibu tertawa lagi. Lebih renyah dan keras karena sudah sukses mengguyoninya.
“Mama menyemangatimu selalu, Kena. Kamu harus mengejar cintamu, Sayang. Apalagi, Leo sudah mengajak kamu menikah.”
“Benar bukan perkataan Mama, Pa?”
Ibunya meminta dukungan pada sang ayah.
“Benar.”
Walau jawaban sangat irit dikeluarkan, tapi Kenanga menganggapnya sudah cukup sebagai lampu hijau dari orangtuanya.
“Tadi, Pak Leo juga ke kampus pakai tongkat. Dia bilang kakinya masih cedera.”
Ucapan sang ayah jelas membuat perhatian Kenanga tak bisa dialihkan. Terdengar nada empati dari ucapan yang dilontarkan.
Ingatan kembali pada Leo Wisesa.
Belum ada komunikasi mereka jalin semenjak bertemu kemarin. Sejak pagi pun ia sibuk di rumah sakit dengan banyak pasien.
Tak sempat mengirim pesan atau menelepon untuk menanyakan keadaan pria itu.
“Papa bicara Om Leo tadi di kampus?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...