Part 21

4K 235 18
                                    


“Kenapa kamu tega, Kenanga? Apa salah saya?” Leo Wisesa sesak bicara.

Mata sudah semakin basah. Mengaburkan pandangan yang masih dipusatkan pada sosok sang istri di depannya.

Kenanga belum berkata lagi. Mulut wanita itu terkatup dengan kuat. Apa susah bagi sang istri untuk menjelaskan semua padanya?

Hanya cukup menyangkal, maka dirinya akan langsung percaya dengan kata-kata wanita itu. Tak peduli akan hasil rekaman CCTV.

Semua bisa dimanipulasi, termasuk dalam menciptakan video yang jauh dari realita demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Sebagai pengacara, ia pun sudah memeriksa ribuan bukti yang tidak valid. Sebagian besar pula dalam bentuk video dan foto.

Bisa rekaman CCTV yang tadi ditonton tidak menampakkan kenyataan sebenarnya. Ia harus memastikan sendiri nanti.

“Apa kamu benar berselingkuh, Kenanga?”

Harus didengar langsung dari sang istri agar bisa memperkuat semua bukti diberikan.

“Iya, Mas Leo. Aku berselingkuh.”

“Kamu berbohong, Kenanga.”

“Nggak, Mas.”

“Aku nggak berbohong. Aku sudah mendua dan mengotori pernikahan kita.”

Kedua telinga mendengar bagaimana jelas pengakuan Kenanga yang dilontarkan oleh wanita itu dengan tenang, tanpa ada tekanan.

Padahal, ingin dilihat sang istri menunjukkan sorot mata sarat penyesalan dan menangis karena sudah mengecewakannya.

Namun, Kenanga bersikap amat tenang.

Dirinya yang justru tambah terguncang kini Tubuh kian melemas. Kepala berdenyut hebat seolah baru dihantam benda keras.

Sial, ia pasti akan terjatuh lagi ke lantai akibat keseimbangan yang mulai terganggu. Bahkan juga terhuyung ke arah sang istri.

Kenanga sigap membantunya.

Namun, ketika merasakan rengkuhan wanita itu, ketegangan begitu memuncak. Rasa jijik muncul seketika disentuh sang istri.

Seketika dihentakkan kedua tangan Kenanga agar tidak menyentuh dirinya lebih banyak. Ia juga melangkah mundur, menjaga jarak.

Mulut ingin sekali berkata-kata, terutamanya mengajukan pertanyaan seputar alasan sang istri begitu tega mendua di belakangnya.

Beberapa jam lalu, wanita itu masih bersikap amat manis dan terlihat begitu mencintainya.

Kenanga juga rela datang ke kampus untuk memproklamirkan diri sebagai istrinya di depan para mahasiswi yang menyukainya.

Mereka bahkan hampir bercinta, setelah satu minggu terakhir Kenanga harus menjauh karena mengidam yang sedikit berbeda.

Sisa ciuman panas mereka empat jam lalu, masih membekas di benaknya dan ingin diulangi, ketika sudah tiba di rumah.

Namun, badai besar justru datang.

Memporak-porandakan hatinya. Ia hancur.

Pengkhianatan Kenanga sama sekali tidak pernah terpikirkan akan diperbuat oleh wanita yang selama sepuluh tahun lebih selalu saja menunjukkan betapa mencintainya.

“Aku dan Dokter Bratha sudah bersama dari satu bulan belakangan. Kami berdua apes ketahuan cepat oleh Papa.”

“Harusnya kami hati-hati dengan hubungan ini agar tidak sampai ketahuan orang lain.”

Leo Wisesa tak bisa mendapatkan kontrol diri untuk bertahan mendengar keterangan lebih blak-blakan diutarakan Kenanga mengenai perselingkuhan dilakukan, air mata turun.

Kenanga bisa sejahat ini padanya?

“Mas harus menerima kenyataan.”

“Tidak akan!” Sukses dilontarkan balasannya kali ini, walau dengan seruan penuh amarah.

“Saya tetap tidak percaya kamu menduakan saya, Kenanga.” Leo Wisesa lanjut bicara.

“Saya akan mencari bukti-bukti valid untuk membantah perselingkuhan yang kamu akui kepada saya sekarang, tidak benar.”

Kenanga tidak berkedip barang satu detik pun dalam menatap langkah tertatih sang suami yang terus menjauh darinya.

Hingga pada akhirnya, pria itu benar-benar sudah menghilang di balik pintu ruangan yang ditutup ajudan sang ayah, barulah tetesan demi tetesan air mata Kenanga keluar dari sepasang netra cokelatnya.

“Mas Leo …,’ Bersamaan dengan lirih nama sang suami digumamkan, isakan pun kian keras. Dadanya sakit bukan main.

“Maaf, Mas.”

“Maafkan aku, Mas Leo.” Derai air mata deras mengaliri kedua pipi tirus Kenanga. Perasaan begitu merasa bersalah pada sang suami.

Tangis Kenanga tentu saja tambah pecah, tatkala sang ayah sudah memeluknya.

“Apa Papa menamparmu terlalu keras tadi itu, Nak? Papa tidak sengaja, Kena.”

Satu gelengan pelan dilakukan segera oleh Kenanga dalam pelukan ayahnya. Ia belum mampu melontarkan satu patah kata pun.

Air mata masih mendesak keluar tiada henti.

“Papa tidak mau lagi melakukan hal keji seperti tadi, Nak.” Profesor Brama ikut berkaca-kaca. Menyesal sudah pasti.

Orangtua mana yang tidak akan dirundung penyesalan sudah bersikap kasar pada anak bungsu paling disayanginya? Sekalipun atas permintaan dari putri beliau sendiri.

“Papa tidak akan mengikuti cara kamu yang berbahaya ini. Papa tidak bisa menyakiti putri kesayangan Papa seperti tadi.”

“Beri tahu Pak Leo Wisesa yang sebenarnya tentang gangguan kesehatanmu, Nak. Tidak dengan cara keji seperti ini membohongi dia.”

“Papa melihat Pak Leo sangat kecewa ketika kamu bilang kamu berselingkuh, Kena.”

Profesor Brama Weltz diserang perasaan gelisah karena merasa begitu tidak enak pada menantu beliau atas keikutsertaan dalam mendukung pembohongan dilakukan sang putri.

“Jika kamu tidak mau, biarkan Papa saja yang akan meluruskan kebohongan sudah kamu lakukan, Kena. Cara ini salah, Nak.”

“Tolong jangan bilang ke Mas Leo, Pa. Dia pasti akan menerima kekuranganku. Dan itu tidak akan bagus bagi masa depan dia.”

“Aku akan menggugat cerai Mas Leo, setelah aku menyelesaikan kuretase besok.”

“Papa tolong siapkan pengacara untukku.”

“Kalian akan bercerai? Kalian belum ada satu tahun menikah, Kena. Papa tidak setuju.”

“Papa akan bicara dengan Pak Leo.”

“Bercerai adalah solusi utamanya, Pa. Walau aku sangat berat melepaskan Mas Leo.”

“Aku tidak ingin mengecewakan dia karena aku tidak akan bisa memberi Mas Leo anak.”

Andai hasil tes kesehatannya keluar, tujuh bulan yang lalu, maka tak akan pernah diterima lamaran menikah Leo Wisesa.

Jika saja tahu lebih awal, dicegah diri untuk mengandung. Percuma bisa hamil, tapi sedikit kemungkinan bisa dilahirkan ke dunia.

Calon bayi-bayi kembarnya bahkan sudah harus meregang nyawa di dalam rahimnya sekarang. Takdir tak berpihak pada mereka.

Ternyata, ia bukan wanita yang sempurna.

.......................

Yuhuuu, selamat membaca.

SUAMI 42 TAHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang