Hai, baca part 1-6 dulu ya karena mereka sudah kembali ke dunia seharusnya, sebagai pasangan suami-istri. Hihihi.
Part 7-15 kemarin itu flashback, tapi dibawa ke mimpi Om Leo.
......................
"Berapa lama saya pingsan?"
"Tiga puluh menit, kalau nggak salah hitung."
"Saya pingsan karena terbentur koper?" Leo memperjelas dengan nada lebih serius.
"Mas belum ingat, 'kah?"
Kenanga mendapat gelengan pelan dari sang suami. Mata pria itu menatapnya juga dengan cukup bingung dan bertanya-tanya.
"Oke, aku ceritakan dari awal, ya."
Leo Wisesa mengangguk kecil.
"Nah, tadi pagi, aku masih mual-mual tiap kali lihat Mas Leo. Aku memutuskan untuk nginap beberapa hari di rumah Papa dan Mama."
"Aku lagi menyiapkan pakaian-pakaian yang aku mau bawa, waktu Mas Leo datang ke kamar. Mas nanya aku mau kemana."
"Aku jawab yang jujur mau nginap. Mas Leo bilang nanti malam mau menyusul ke sana."
"Terus Mas Leo mau meluk aku karena dari sekitaran empat hari kita pisah kamar karena aku ngidam aneh, nggak mau dekat-dekat sama Mas Leo.
"Nah, tiba-tiba saja Mas kepeleset pas mau peluk aku, terus kebentur koper."
"Mas langsung pingsan, nggak bangun. Aku panik. Terus minta bantuan ajak Mas ke rumah sakit. Takut kenapa-kenapa."
"Dari hasil pemeriksaan dilakukan Papa dan dokter lain, Mas katanya nggak apa-apa."
Kenanga merasa sudah cukup banyak bicara. Ia engap. Butuh diam sejenak seraya mengisi udara lebih banyak ke paru-paru.
Dan belum ada tanggapan dari suaminya.
Apakah pria itu mengalami amnesia? Atau gangguan ingatan mendadak? Padahal dari hasil pemindaian otak, tidak ada masalah.
Beberapa bulan yang lalu, Leo sudah pernah terlibat kecelakaan saat pendakian. Pria itu mengalami luka lumayan parah. Gegar otak ringan dan cedera di kaki juga.
Jadi, ia lebih waspada karena kejadian ini.
Memang, benturan pada koper juga tak keras. Hasil pemeriksaan juga tidak buruk. Tapi siapa yang tahu jika ada situasi tak terduga.
"Mas, kenapa diam terus? Lupa aku istri Mas Leo, ya?" Kenanga mulai berpikiran tak baik.
Menyimpulkan pula suaminya amnesia. Bisa saja beberapa memori ingatan hilang. Dirinya termasuk yang dilupakan oleh pria itu.
Memikirkan saja, sudah membuat sesak.
"Mas Leo?" Kenanga kian tidak sabar untuk menunggu jawaban dari sang suami.
"Mas Leo tahu kapan kita menikah? Tanggal dan harinya? Tempatnya dimana?" Masih berupaya untuk diuji ingatan sang suami.
Pria itu belum mengeluarkan satu patah kata pun, tapi ada perubahan terdapat di wajah.
Salah satu sudut bibir Leo Wisesa terangkat. Biasanya ditunjukkan oleh pria itu, manakala merasa terlibur akan sesuatu yang ia katakan.
Namun, ia tidak sedang berguyon.
"Ke sini, mendekat, Baby."
Setelah bungkam beberapa menit tanpa satu kata terucap, permintaan sang suami tentu langsung saja dilakukan dengan semangat.
Dirinya pun bergerak naik ke ranjang pasien. Duduk di tepian dekat Leo Wisesa.
Pria itu langsung saja membawanya ke dalam rengkuhan kedua tangan yang posesif.
"Tanggal dua puluh tiga, bulan Juli."
"Upacara pernikahan di kampung halaman kita. Resepsi di hotel bintang lima Nusa Dua."
Kenanga tak bisa menahan diri lagi untuk tak memeluk balik sang suami, setelah didengar jawaban pria itu sangatlah tepat.
Leo Wisesa tidak amnesia, seperti diduga.
Sungguh lega hatinya. Hilang seketika pula semua perasaan was-was membelenggu.
"Sudah tidak mual meluk saya?"
"Masih sedikit. Tapi, bisa aku atasi." Kenanga membenamkan kepala di bahu sang suami.
Oh tentu, perutnya mulai bergejolak. Apalagi mencium aroma tubuh maskulin suaminya.
Namun, enggan dilepaskan diri dari pria itu.
"Jadi menginap di rumah Prof Brama?"
"Nggak jadi. Mau di rumah saja bareng Mas. Mau tidur satu kasur juga di kamar kita."
"Aku kangen."
Leo Wisesa jelas tertawa mendengar sendiri pengungkapan manis istri kesayangannya.
"Mas kangen nggak?"
Mereka sudah saling berpandangan. Tentu saja rengkuhannya pada sang istri terlepas. Namun, Kenanga tak bergeser menjauh.
"Saya tersiksa empat hari tidur sendirian."
"Tidak ada yang bisa saya peluk."
Giliran Kenanga terkekeh dengan pengakuan terang-terangan suaminya yang terdengar menyedihkan karena mereka pisah ranjang.
Bukannya terlalu tega, tapi jika tetap dipaksa, maka akan membuat mualnya tak berhenti. Bahkan bisa sampai muntah-muntah.
Ajaibnya hari ini sudah mereda. Tepat setelah sang suami pingsan. Mungkin karena rasa cemas berlebihan mengalahkan ngidam aneh yang sudah terjadi beberapa hari belakangan.
"Nanti malam benar satu kamar?"
Kenanga tertawa lagi. Pertanyaan sang suami seakan menyimpan kecemasan jika dirinya akan mengingkari apa yang ia katakan.
Anggukan mantap dilakukan sebagai respons pertama. Lalu, menangkupkan kedua tangan pada wajah sang suami yang berekspresi menggemaskan. Ingin sekali diciumnya.
"Mas Leo mau ngajak aku olahraga malam?" Kenanga masih berupaya memancing.
"Saya sudah puasa seminggu lebih, Baby."
"Seminggu? Itu baru sebentar."
"Lama bagi saya, Kenanga."
Tawa dikencangkan, namun tetap dalam batasan yang tak berisik mengingat mereka tengah berada di salah satu bilik UGD rumah sakitnya.
"Mas Leo bisa? Kepalanya nggak pusing?"
"Saya sudah sembuh, bisa olahraga malam dengan kamu."
"Bersemangat sekali, Mas?" Kenanga kembali menggoda.
Gelakan yang masih dikeluarkan, seketika dihentikan karena wajah sang suami begitu dekat dengannya. Bibir mereka pasti akan disatukan.
Dan ketika atensi kian dilekatkan ke Leo Wisesa, Kenanga dihantam mual hebat lagi. Ia menjauh. Duduk di kursi samping ranjang pasien, menjaga jarak.
Tak mau sampai mual, apalagi berada di rumah sakit.
"Sepertinya kita batal olahraga malam, Mas."
........................
Mau lihat komennya dong, hahaha. Masa sepi. Apa dikasih konflik berat dulu biar menarik?
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...