“Saya sudah sampai di rumah sakit.”“Dimana Kenanga, Prof? UGD?”
Dehaman pelan didapatkan dari sang mertua atas pertanyaan diajukannya.
“Terima kasih, Profesor Brama.”
Ponsel dipegangnya erat di tangan, setelah dijauhkan dari telinga. Kedua kaki melangkah cepat dengan rasa cemas terus membesar.
Namun, segera pula berhenti saat mencapai pintu utama ruangan Unit Gawat Darurat rumah sakit milik Brama Weltz.
Areal yang cukup besar dengan jumlah orang juga banyak, membuat pencarian sang istri tak mudah. Setiap bilik harus diperiksa.
Mata mengedar dengan teliti ke setiap sudut.
Dan setelah menyusuri beberapa menit, netra miliknya dapat menemukan sosok Kenanga.
Sang istri berbaring di atas ranjang dengan infus yang terpasang pada tangan kanan.
Kenanga masih memakai seragam dokter.
“Bagaimana keadaannya?” Leo bertanya pada suster yang mendampingi sang istri.
“Dokter Kenanga kelelahan, Pak.”
“Bayi-bayinya?”
“Kandungan Dokter Kenanga aman, Pak.”
Leo refleks mengembuskan napas karena lega jika kehamilan sang istri tak apa-apa. Ia sudah cemas akan terjadi hal buruk.
Sejak dikabari Kenanga pingsan, dirinya pun sudah diserang kecemasan begitu besar.
“Perlu rawat inap?”
“Tidak, Pak. Setelah infusnya habis, Dokter Kenanga boleh diajak pulang.”
“Terima kasih.”
“Anda akan menemani Dokter Kenanga, Pak? Apa boleh saya tinggal ke pasien lain?”
Leo hanya mengangguk pelan.
“Jika ada masalah, langsung saja datangi dokter dan perawat kami yang bertugas, Pak.”
“Iya, terima kasih.”
Setelah mendengar jawabannya, suster yang entah bernama siapa, langsung saja beranjak pergi dari hadapannya dengan cepat.
Kini, hanya tinggal mereka berdua di bilik.
Tak bisa dipindahkan barang satu pun detik pandangan dari sang istri yang tertidur.
Hatinya bergemuruh menyaksikan Kenanga dalam kondisi lemah seperti ini. Biasanya, wanita itu akan ceria serta bersemangat.
Wajah Kenanga juga tampak pucat.
Tentu, pandangan yang intens ke arah sang istri tiada henti, membuatnya melihat wanita itu saat membuka mata perlahan-lahan.
Segera didudukkan diri di kursi dekat ranjang, tapi tak berani terlalu dekat dengan Kenanga.
Enggan menyebabkan sang istri mual-mual atau muntah, seperti sebelumnya.
Kenanga mengidam sangat aneh sejak seminggu lalu, yakni tidak mau berdekatan dengannya. Bahkan sekadar melihatnya.
Mereka akhirnya tidur pisah kamar.
“Mas, di sini?”
Segera dianggukan kepala seraya mencoba untuk meraih tangan kanan Kenanga guna digenggam, tapi sang istri sudah mual.
“Hoekk.”
Niatan akhirnya diurungkan.
Benar-benar harus masih menjaga jarak.
“Tetap eneg lihat saya?”
“Sedikit, Mas Leo.”
Kenanga menunjukkan senyuman lebar serta kekehan pelan, dengan wajah yang belum lebih segar. Tapi, tetap berusaha ceria.
Memang begitu sifat khas istrinya.
“Sudah merasa mendingan?”
Hanyalah bisa melontarkan pertanyaannya dengan perhatian tanpa menyentuh sang istri, padahal begitu ingin dipeluk Kenanga.
Namun, dibanding harus melihat wanita itu mual-mual dan muntah, lebih baik tetap dijaga radius kedekatan dengan sang istri.
“Aku bugar saja kok, Honey.”
“Bugar? Kenapa bisa pingsan kalau bugar?”
“Tadi, nggak sengaja pingsan, hehe.”
“Hilang kesadaran,” tambah Kenanga.
Dirinya sendiri tak habis pikir juga kenapa bisa terkulai lemas, saat sedang memeriksa pasien. Makan teratur dan energi pun cukup.
Mungkin efek hamil muda? Mengingat, usia kandungannya baru enam minggu.
Walau ia adalah dokter kandungan, untuk paham kondisi badannya, perlu dipelajari lagi.
Dengan begitu, akan bisa beradaptasi lebih banyak kedepan menghadapi kehamilannya.
“Saya tidak mau kamu terlalu capek bekerja. Ingat, kamu sedang mengandung.”
“Kamu harus menjaga kesehatanmu, Baby.”
“Siap, Mas Leo.”
“Saya tidak mau kamu dan calon anak-anak kita kenapa-kenapa, jika kamu sakit.”
Sangat manis ucapan sang suami, tapi perut bergolak jika lama-lama memandangi wajah pria itu. Padahal, lelakinya begitu tampan.
Sungguh konyol reaksi tubuhnya.
Sebagai wanita yang tengah hamil, ia justru harus bermanja-manjaan, seperti saat awal menikah dengan Leo, tiga bulan lalu.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
“Kenanga …,”
“Apa, Honey?”
“Saya masih tidak bisa meluk kamu?”
Kenanga langsung terkekeh. Lalu, kepalanya digelengkan. “Masih mual, Mas.”
“Saya tidak pakai parfum.”
“Tetap nggak mau dipeluk dulu.”
“Lihat muka Mas Leo saja, aku jadi mual.”
“Saya harus pakai masker? Biar muka saya tidak bisa kamu lihat, Kenanga?”
Dari gaya bicara sang suami, tentu menyindir, walau dengan nada datar-datar saja terlolos dari mulut seksi Leo Wisesa.
Tentu, ia tergelak akan tingkah pria itu.
“Mas Leo kangen banget peluk aku, ya?”
“Iya, Baby.”
Jawaban amat singkat, namun sangat serius dilontarkan sang suami. Apalagi, tatapan pria itu yang sarat kerinduan mendalam.
“Coba peluk, Mas. Tapi sebentar aja, ya. Aku takut tambah mual dan Mas kena muntah.”
Namun baru saja, sang suami merentangkan tangan untuk merengkuhnya, perut sudah bergemuruh kembali. Mualnya kian parah.
“Hoekkk.”
Untung tak keluar muntahan.
“Mas, jangan tambah dekat, aku mual.”
Leo melangkah mundur dengan cepat. Coba menjaga jarak sejauh mungkin dari Kenanga.
Sekalipun sangat ingin memeluk istrinya.
"Saya menyerah, Baby."
....................
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI 42 TAHUN
General Fiction[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Ikatan pernikahan dibangun dengan perbedaan usia tiga belas tahun di antara keduanya, tentu tak mudah, tapi tidak menjadi penghalang juga mencintai satu sama lain. Hati dokter Kenanga Weltz (29th)...