Part 25

4.6K 289 12
                                    


“Mas, aku bisa makan sendiri.”

Saat ingin melontarkan kalimat lagi, sang suami sudah menyuapkan sepotong ikan ke dalam mulutnya, ia tak bisa bicara.

Memilih mengunyah cepat, baru kemudian akan dapat melanjutkan apa yang ingin dirinya sampaikan kepada sang suami.

Namun baru saja ditelannya makanan, sudah disuapkan lagi sesendok nasi berisi sayur oleh suaminya. Seperti tidak ada jeda.

Dan Kenanga tak bisa menolak.

Selalu terpatri senyuman hangat di wajah sang suami yang membuatnya terus diserang perasaan bersalah karena tak pulang selama dua minggu. Upaya untuk menghindar.

Sikapnya memang tidak patut sebagai istri.

“Berat badan kamu susut berapa kilogram?”

“Aku nggak tahu, Mas. Aku belum cek.”

Kenanga tahu pipinya yang lebih terus pasti jadi indikasi penilaian sang suami. Ia pun yakin bobot tubuhnya sudah turun.

Mengingat, ia hanya menyentuh makanan satu kali dalam sehari, saat pagi saja.

Kesibukan menangani pasien tidak menjadi faktor utama, melainkan nafsu untuk makan yang hilang pasca mengalami keguguran.

“Mulai besok, kamu harus makan empat kali sehari. Saya akan memantau sendiri.”

“Bilang saja apa saja mau kamu makan, saya akan memasaknya untuk kamu, Kenanga.”

“Saya bisa dua empat jam di dapur. Kapan pun saya bisa memasakkan kamu makanan.”

“Mas mau jadi chef?” canda Kenanga.

“Tidak. Saya akan melamar menjadi asisten pribadi kamu, Baby.”

“Gimana? Mau jadi asisten pribadiku, Mas? Tapi, aku nggak cari asisten pribadi.”

“Saya sudah mengajukan cuti satu bulan di firma, akan ada rekanan yang menggantikan saya memimpin sementara. Saya akan jadi pengangguran selama sebulan.”

“Saya tidak boleh jadi asisten pribadi kamu?”

“Misal Mas Leo jadi asistenku, Mas mau ambil kerja apa? Bantu aku periksa pasien?”

“Tidak, Baby.”

“Saya akan ikut ke mana saja kamu pergi. Saya akan mengingatkan kamu makan empat kali sehari, jika saya menjadi asisten kamu.”

“Yang terpenting, saya bisa menjaga kamu, Kenanga. Saya ingin bersama kamu.”

Leo Wisesa ingin berbicara lagi, sebab belum semua kalimatnya terluncur. Namun ketika melihat sang istri tertawa, ia pun melupakan seketika niatan. Fokus pada ekspresi wanita paling dicintainya yang telah dirindukan.

Beberapa minggu belakangan, keceriaan sang istri absen dipamerkan. Kini, bisa dilihat kembali. Tentu menyejukan hatinya.

“Saya mau memeluk kamu, Baby.”

“Memelukku, Mas? Ayo, aku siap dipeluk.”

Undangan yang menggoda.

Ditarik cepat tangan sang istri, menyebabkan Kenanga terbangun dari kursi yang tengah diduduki. Ia juga melakukan hal sama.

Satu tarikan kembali dengan lebih kencang, dapat dibawa sang istri ke rengkuhan eratnya.

Kenanga mendekap balik segera. Direbahkan kepala di dada bidang suaminya. Tempat untuk bersandar yang paling aman.

Sedekat ini, sangatlah menyamankan hati mereka masing-masing. Membutuhkan satu sama lain untuk menghapus jejak kesedihan.

Ya, duka kehilangan tak akan cepat berlalu, namun jika saling menguatkan, maka luka hati perlahan-lahan pasti mampu terluruhkan.

“Saya diizinkan menjadi asistenmu?”

“Aku nggak akan bisa bayar, Mas.”

“Dua ratus juta minimal gajinya Mas Leo, dari mana aku dapat uang untuk memberikan Mas gaji?” Kenanga mendongak seraya masih mempertahankan senyuman di wajah.

Sebagai pengacara dengan puluhan klien baru setiap bulan, pendapatan sang suami bahkan mencapai milyaran, diluar gaji pokok.

Tentu, ia cukup kaget diberikan kabar jika pria itu akan mengambil cuti satu bulan. Apalagi, hanya untuk terus berada di dekatnya.

Bukan tidak menghargai apa yang dilakukan oleh sang suami, hanya saja tindakan pria itu berlebihan, tak didiskusikan dulu dengannya.

“Gajiku saja cuma dua puluh lima juta.”

“Kamu bayar saya bukan dengan uang, tapi dengan cara yang lainnya, Sayang.”

Kenanga pun mengernyit. Tak paham.

“Terima ajakan saya bulan madu.”

“Tidak apa, tidak mau ke Eropa. Kita akan pergi ke mana pun kamu mau, Kenanga.”

“Mas, kita harus tahan dulu tidak olahraga di ranjang selama sebulan. Aku baru lima belas hari kuret. Masih agak riskan berhubungan.”

“Saya tidak meminta kamu melayani saya saat kita bulan madu. Saya cuma ingin kita bisa menghabiskan waktu bersama, Baby.”

Kenanga menimbang kembali. Ia pun perlu minta izin dulu ke rumah sakit untuk cuti. Tak bisa dadakan, walau ayahnya adalah pemilik rumah sakit. Enggan sewenang-wenang.

“Kita pergi ke Eropa? Negara mana, Mas? Bagaimana kalau Norwegia?” Kenanga pun menunjukkan kesetujuan atas ide suaminya.

“Ke mana pun yang kamu mau, asalkan saya diajak kemana saja kamu pergi.”

Kenanga terkekeh. Merasa terhibur dengan jawaban sang suami yang terkesan protektif. Pria itu seperti kian gamblang mengutarakan keinginan, sebelumnya tidak begitu.

Lalu, mata dipejamkan saat menerima ciuman manis di kening dari suaminya. Jantung pun langsung berdetak kencang karena gugup.

Beberapa detik selanjutnya, dirasakan ada tetesan cairan bening jatuh ke netranya.

Saat maniknya dibuka, disaksikan sang suami yang telah berlinang air mata. Hatinya pun seketika teriris melihat pemandangan ini.

“Mas Leo kenapa?”

Dan ketika ingin ditanyakan alasannya, sang suami sudah membenamkan kepala di bahu kirinya. Memeluk dengan semakin posesif.

Perasaan Kenanga kian tak tenang. Timbul ketidakenakan hati karena tahu masalah disebabkan oleh dirinya. Ia sudah menoreh luka cukup dalam kepada sang suami.

“Mas Leo …,” Kenanga memanggil lembut.

“Orangtua saya gagal dalam pernikahan mereka, saya tidak mau mengulang kembali kesalahan mereka di kehidupan saya.”

“Saya trauma dengan pernikahan orangtua saya. Mereka bercerai tanpa memikirkan saya yang menderita karena perceraian itu.”

Kenanga jelas semakin mematung. Ia pun tertampar dengan masa lalu kelam dari sang suami yang selama ini tak diketahui.

Sepuluh tahun lebih saling mengenal, satu kali pun, Leo Wisesa tak pernah bercerita. Mungkin dijadikan rahasia yang amat pelik.

Permintaannya berpisah, sudah pasti akan membangkitkan trauma pria itu bukan?

Jika saja tahu, ia akan menghindarinya.

“Saya bisa melakukan apa saja untuk kamu, asalkan kamu tetap bersama saya, Kenanga.”

“Saya akan menderita tanpa kamu karena saya sudah sangat mencintai kamu.”

Kali ini, mereka saling bersitatap, mata sang suami memancarkan jelas sorot ketakutan dan kepedihan yang menyatu padu.

“Jangan minta bercerai dari saya lagi, tolong. Saya tidak akan bisa melakukannya.”

........................................

Ayok komentarnya buat Om Leo dan Dokter Kenanga.

SUAMI 42 TAHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang