Part 06

6.2K 340 24
                                    


Tidak sekadar tidur di kamar tamu, ia juga mandi di sana setiap pagi dan malam hari.

Pergi ke ruang tidur utama, hanyalah untuk berganti pakaian sebelum pergi bekerja.

Sudah empat hari pisah ranjang dengan sang istri. Sampai kemarin malam, Kenanga pun masih diserang mual setiap melihatnya.

Pemakaian topeng mainan seperti ide konyol Affandra, tidak cukup ampuh membuatnya bisa dekat kembali dengan sang istri.

Cara lain pun belum ditemukan, kecuali tetap menjaga jarak sementara waktu sampai semua dialami Kenanga bisa hilang.

Bagaimana pun, ia ingin kondisi istrinya bisa lekas kembali seperti sedia kala.

Mual berlebihan, hingga muntah beberapa kali dalam sehari, tentu rasanya menyiksa bagi wanita itu. Ia melihat saja tak nyaman.

Kenanga pun hebat masih bisa bertahan.

Tok!

Tok!

Ketukan pintu yang dilakukan, hanya sebagai formalitas sebelum masuk ke kamar.

Pintu dibuka perlahan-lahan karena tidak mau menimbulkan suara atau kebisingan yang dapat mengganggu sang istri tengah tidur.

Kenanga akan bangun jam tujuh. Ia sudah sangat hafal jadwal diterapkan wanita itu.

Dan ketika tak mendapati Kenanga di ranjang saat melihat ke arah kasur, maka ia langsung bertanya-tanya kapan wanita itu telah terjaga.

Ya, walau mereka tidur terpisah, tetap selalu dipantau Kenanga lewat CCTV terpasang di ruang tidur utama guna tahu kondisi istrinya.

Tentu bertujuan menghindari hal buruk terjadi.

“Ke mana perginya?”

Tadi setelah mandi, tak dimonitori lagi lewat ponsel karena menduga sang istri masih tidur.

Pencarian langsung dilakukan. Disasarnya pertama kamar mandi. Tak ada di sana.

Lalu, menuju balkon. Nihil juga.

Perasaan semakin gelisah, seiring dengan kaki yang dilangkahkan tambah cepat ke sudut-sudut ruangan belum diperiksa.

Pada akhirnya, ia sampai di walk in closet.

Mata menangkap jelas sosok sang istri yang tengah dicari-cari. Wanita itu pun tampak sedang memasukkan baju ke koper.

“Mau ganti pakaian, Mas? Aku sebentar lagi selesai. Kita giliran dulu, ya.”

Leo berdiri lumayan jauh dari Kenanga. Ada tiga meter jarak pemisah di antara mereka.

Siapa tahu istrinya tiba-tiba mual. Ia harus mulai mengantisipasi sedini mungkin.

“Lima menit lagi, ya, Mas. Aku masih pilih tiga pakaian buat aku bawa.”

“Kenapa banyak bawa pakaian?” Leo tentu akan menanyakan apa yang dilakukan sang istri karena ia sama sekali tak tahu.

“Aku mau nginap beberapa hari di rumah Mama dan Papa. Boleh ‘kan, Mas?”

“Kenapa mau menginap?” Leo merasa perlu juga tahu alasannya karena Kenanga tidak pernah meminta seperti ini sebelumnya.

“Kangen saja dengan Mama dan Papa. Mau dimanja dan tidur dengan Mama.”

“Ngidam lagi?” Leo menebak.

“Nggak tahu nih, Mas. Cuma pengin saja aku manja-manjaan dengan Papa dan Mama.”

“Aku nggak boleh nginap, ya?”

“Boleh.” Leo menjawab dalam nada tegas.

“Setelah pisah ranjang, kita akan tinggal beda rumah juga?” Dilanjutkan dengan berguyon.

Sang istri tentu tertawa.

“Nggak lama nginapnya, Mas. Paling cuma seminggu di rumah Mama dan Papa.”

“Itu lama, Kenanga. Saya akan kangen.”

“Mas Leo, kalau kangen denganku, bisa ikut juga nginap di sana. Mau nggak?”

Tampak mata sang suami melebar, tanda jika ajakannya cukup mengagetkan pria itu.

Sang suami memang sedikit sensitif ketika sudah membicarakan hal yang berkaitan dengan orangtuanya, terutama sang ayah.

Hubungan mereka masih canggung.

“Papa nggak akan galak dengan Mas. Aku
akan bilang ke Papa biar manis ngomong sama Mas Leo.” Kenanga tetap berupaya membujuk sang suami menerima ajakannya.

“Saya sudah menyiapkan banyak amunisi menghadapi Profesor Brama.”

“Benar, Mas? Siap diajak Papa ngobrol soal rumah sakit dan universitas berjam-jam?”

“Saya akan banyak minum kopi.”

“Hahaha. Aku dukung, ya, Mas.”

“Taklukan Papa, siapa tahu Mas Leo bisa menggantikan Papa jadi ketua yayasan universitas. Papa katanya mau pensiun.”

“Tidak, Kenanga. Itu bukan tujuan saya.”

“Tujuan Mas Leo apa?”

“Tujuan penting saya sekarang adalah ingin memeluk kamu, Baby.”

“Cara merayu yang manis, Honey. Hihi.”

Kaki Kenanga melangkah mendekat ke sang suami. Ingin dikabulkan permintaan pria itu. Tentu, harya ditahan mual yang mulai timbul.

Direngkuh erat suaminya.

Leo pun membalas segera. Mencium pucuk kepala sang istri untuk mengungkap betapa besar kerinduan yang sudah beberapa hari tidak bisa berdekatan dengan wanita itu.

"Sudah tercapai tujuannya, Mas?"

Leo hanya bisa berdeham dalam beri balasan untuk pertanyaan sang istri. Ia tak ingin bicara. Hendak fokus dengan pelukan hangat Kenanga yang rasanya menenangkan bagi hatinya.

"Love you, Mas Leo.”

Debaran jantungnya menggila mendengarkan lembut pengungkapan cinta Kenanga.

Dan ketika ingin dibalas, dorongan kuat yang menghantamnya hingga rengkuhan erat pada sang istri terlepas begitu saja.

Bahkan, ia terhempas ke lantai. Kepalanya pun berbenturan keras. Membuatnya harus langsung memejam mata karena amat sakit.

Denyutan hebat menyerangnya. Kesadaran pun perlahan-lahan berkurang. Bahkan hilang dalam hitungan detik begitu sakit.

Dan ketika netra yang terasa amat berat bisa dibuka kembali, ia pun terkejut bukan main mendapati dirinya berbaring di ranjang pasien lengkap dengan infus dan selang oksigen.

“Akhirnya kamu sadar juga, Leo!”

Didengar jelas seruan histeris sang ibu yang disertai dengan tangisan kencang.

Otaknya pun langsung bekerja begitu saja, memutar satu demi satu kejadian yang telah ia alami, bak potongan-potongan film.

Dimulai dari mengikuti pendakian gunung di Swiss bersama tiga wisatawan lain. Badai besar mendadak datang. Membuat mereka terjerembab ke jurang yang dalam.

Setelah itu, ia tidak ingat apa-apa lagi.

Kenyataan lebih pahit menghantamnya yakni, kebersamaan dengan Kenanga yang manis hanyalah bagian dari mimpi belaka.

Dirinya tak pernah sekalipun menikah dengan wanita itu. Kenanga bahkan berada jauh darinya saat ini, entah dimana.

SUAMI 42 TAHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang