2/c. Takdir Tuhan 1✨️

32 3 0
                                    

Kita yang berencana, Tuhan yang menentukan.

Reservasi tamu untuk dijemput di Bandara I Gusti Ngurah Rai jam 9 pagi dibatalkan. Wira mendengus dalam hati, namun mimik muka harus tetap tersenyum menanggapi rekan kerjanya yang lupa memberitahunya, padahal ia tadi sudah menunggu di bandara 30 menitan.

“Iya sing usah gitu, Mbok. Biasalah kaya gini, hotel juga lagi rame.” Tanggapan Wira pada rekan kerjanya yang sudah ke tiga kalinya meminta maaf.

Ya memang hal seperti miss communication terjadi kadang kala saat hotel sibuk, Wira tak menyalahkan.

Setelah mengembalikan kunci mobil di hotel tempatnya bekerja, Wira sangat malas pulang ke rumahnya. Ia memilih membawa si hitam untuk menikmati udara di hari Minggu pagi. Toh, jika pulang matanya sudah tidak lagi minat untuk terpejam.

Dikendarai kesayangannya dengan pelan, ia tidak mempunyai tujuan akan kemana saat ini. Namun tanpa sadar si hitam membawanya ke arah Kuta, agaknya ingin menikmati hembusan angin pantai. Disepanjang jalan Legian ia melihat orang-orang yang membuka toko-toko yang berjajaran di kanan-kiri.

Benar, Wira menikmati pemandangan interaksi pedagang-pedagang yang menjajakan barisan baju, hamparan cindera mata, layanan perawatan dari bagian tubuh atas hingga ujung kaki kepada calon-calon pembelinya. Akhirnya diputuskan untuk mampir menemui temannya di pantai Kuta.

Diparkirnya si hitam ditepi trotoar, dipercayakan pada tukang parkir yang sudah menjadi sohibnya, bli Komang.

“Jagain ya, Bli.” Pesannya pada tukang parkir yang lebih tua.

“Aman. Kok udah sampai sini aja pagi-pagi, Wir?” Basa-basi bli Komang.

“Nah, lagi jalan-jalan aja tadi di Legian, sekalian mampir ke Abi.”

“Oh gitu. Ya sudah sana, kujaga ini si hitam tenang aja.”

Suksma, Bli. Saya ke Abi dulu.” Pamit Wira dengan menganggukan kepala dan tersenyum. Yang dipamiti membalasnya dengan senyum dan mengangkat jari jempolnya mengisyaratkan “oke”.

Sejak awal ia memang tak ada niat untuk datang ke tempat kerja Abi. Ia hanya mampir karena memang searah dan tidak tahu mau kemana lagi.

Dari jarak 100 meter, pandangan Wira jatuh pada dua orang yang asik mengobrol, tertawa, kadang juga saling memukul, duduk di bawah pohon kelapa beralaskan selembar kain pantai. Ia 1000% yakin bahwa manusia itu Abi, tetapi meskipun matanya dibuka selebar mungkin ia tak tahu siapa yang duduk di sebelahnya.

Dengan langkah kaki yang agak dipercepat, Wira akhirnya sampai di belakang dua manusia yang masih asik bercengkrama hingga tak sadar kehadirannya.

“Ehemm,” Langkah awal Wira mencoba berdehem seolah tenggorokannya gatal untuk mencuri perhatian. Tapi yang diganggu tidak juga sadar.

“Uhuk-uhuk-” percobaan yang kedua kalinya, bukan gatal lagi namun seolah tenggorokannya tersangkut biji kedondong.

“Sudah sadar qe? asik banget nih kayaknya.” Sindir Wira pada Abi dan pria di sebelahnya, yang sesaat lalu dengan cepat menolehkan kepala ke belakang melihat arah suara yang dibuat Wira.

“Eh, kok qe di sini? Ngapain?” Tanya Abi bingung dan disertai cengiran khasnya.

“Kenapa kalau aku kesini? Emang pantainya punya qe, ha!?” Wira menjawab dengan sekali jitakan didaratkan di kepala Abi. Ya emang pantainya bukan milik Abi, tapi jangan salah beberapa lapak tempat penyewaan papan selancar Abi-lah yang punya.

Klee, dasar. Kan aku tanya aja, kan qe sendiri yang kemarin bilang mau lembur-“ mulut Abi sudah dimonyongkan, “Eh, sini duduk. Kenalin juga temenku nih, Ipal namanya.” Kata Abi memperkenalkan Ipal pada Wira.

“Wira, temen Abi juga.” Dengan mengulurkan tangan ia memperkenalkan diri. Yang di depan menanggapi uluran tangannya dan tersenyum, “Oh, Ipal.”

Ipal sebenarnya terkejut dengan kedatangan Wira, sosok yang diketahui pasti adalah orang yang dikenalkan Abi pada Hema. Sangat kebetulan yang luar biasa. Bagaimana tidak, padahal selama ia berteman dengan Abi tak pernah sekalipun bertemu, tapi saat ini, saat ia tengah bersama Hema manusia itu muncul tiba-tiba.

Memang Abi sangat handal dalam mencairkan suasana dengan tingkah-tingkah aneh dan lucunya, Ipal dan Wira sangat cepat akrab dan bisa mengobrol layaknya sudah kenal lama.

Sampai mereka lupa dengan sekitarnya karena topik yang dibicarakan sangat menggelitik perut. Apalagi kalo bukan cerita random Abi si badluck. Seperti Abi yang ditendang ibunya karena lupa dan meninggalkannya saat naik motor, Abi yang terjungkal saat berlari ingin menolong orang, Abi yang ini, Abi yang itu.

Tanpa disadari, dari arah pantai ada sosok kecil yang sedang terseok-seok kesusahan membawa papan selancarnya berjalan ke arah mereka beriga. Pandangannya sedikit tertutup karena papan selancar yang dibawa dengan cara dipeluk di depan dada. Si kecil juga rupanya belum tersadar saat selesai menyandarkan papan selancar di pohon kelapa dan duduk di pasir depan mereka bertiga.

“Aduh capek kali nok.” Hema berbicara dengan masih melihat arah pantai, tangannya dibawa ke atas mengacak-ngacak rambutnya yang basah karena air laut, tubuh yang meliuk-liuk seolah melakukan pendinginan setelah berolahraga.

Yang duduk di belakangnya sudah sedari tadi memperhatikan gerakan-gerakan Hema. Abi dan Ipal saling melirik, terdiam tidak tahu mau melakukan apa. Wira? matanya berkedip sangat pelan seperti memastikan sosok yang duduk di depan, mulutnya sedikit terbuka seperti orang yang ingin meraup udara disekeliling karena dua lubang hidung saja dirasa tak cukup.

“Kalian pacaran mulu, klee. Sing ada nemenin aku ma-“ protesnya sambil mendudukkan diri, belum selesai ia melancarkan protes, saat kepalanya berputar ke belakang dan saat itu pula mulutnya seperti dibungkam, matanya terpaku pada seseorang dibelakangnya yang juga terdiam menatapnya.

Sepertinya memang hari sudah siang, matahari pun memhantar panasnya pada pipi Hema.

Abi dan Ipal terdiam melirik dua manusia yang masih menikmati acara tatap-menatapnya. Tapi Abi memilih memecah keheningan.

“Ehem, eh kalian sing lapar nok?” Abi berusaha memecahkan kecanggungan yang terjadi diantara para sahabatnya.

“Eh..eh lapar nok. Ayo Bi beli makan sama aku. Kalian berdua sini dulu ya.” Jawab Ipal yang juga mengerti kebingungan Abi.

Eh, tapi sepertinya ia salah, kenapa mengajak Abi harusnya ia bawa pergi Hema untuk menyelamatkan sahabatnya dari kebakaran di pipinya itu. Tapi, dengan cepat Abi sudah menarik tangannya untuk segera pergi
.
“Kok qe narik aku sih, Bi! Gak kasihan tuh qe sama Hema udah kayak kepiting. Dasar Hema bodoh, matanya sing mau liat-liat dulu siapa aja yang duduk tadi.” Gemas Ipal pada sahabatnya itu.

“Hahaha udah biarin aja ci-“ sahutnya dengan terbahak-bahak karena first impression yang Hema tunjukkan kepada Wira sangat buruk.

“Ayo beli makan sama aku aja sekalian es krim. Biarin mereka kenalan sendiri.” lanjut Abi puas dengan rencananya.

SWATAMITA [OFFGUN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang