3/a. Butuh Kamu 1✨️

22 2 0
                                    

Keseharian Hema masih sama dengan 2 bulan terakhir, ia menjadi tempat untuk menampung segala kegundahan hati Cakra yang tak kunjung selesai. Padahal Hema sudah mulai lupa bagaimana dulu ia menangisi Rava.

Tapi Cakra?

Apakah ia masih senang menuliskan kisah sedih dirinya, hingga memilih memperlama akhir cerita bersama mantan kekasihnya dulu?

Hingga Hema merasa iri, bagaimana sosok Galuh itu. Hingga Cakra pun masih enggan melupa, hingga dulu Rava pun memilih wanita itu juga.

Setiap bertemu disela obrolan mereka, masih terselip nama wanita itu walau satu atau dua kali saja. Setiap berkirim pesan dengannya masih juga terselip pula nama wanita itu. Hema tidak cemburu, ia hanya kesal saja.

Seperti sekarang ini, makanan yang enak di depan mata sangat terasa hambar, kala Cakra mengatakan sesuatu yang membuat Hema tercengang dan tak habis fikir. Sudah 8 bulan berakhirnya hubungan Cakra, ia ingin memastikan sebuah rasa penasarannya.

“Gimana menurut kamu kalau aku melakukan itu?” tanya Cakra kepada Hema yang masih mendengarkan celotehnya.

“Iya gakpapa, Kak. Coba aja kalo pengen pastiin perasaan itu, biar kakak gak kepikiran terus.” Tanggapan Hema untuk rencana yang menurutnya tak masuk akal.

Ia lelah juga jika terus mendengarkan cerita Cakra yang itu-itu saja. Makanya ia meng-iyakan saja. Karena jawaban yang diinginkan Cakra hanya “IYA”.

Cakra ingin menemui Galuh dan menanyakan apakah masih ada cinta untuknya, sebab akhir-akhir ini mereka mulai berkirim pesan lagi. Padahal Galuh dan Rava masih menjalin hubungan.

Awalnya Hema bingung dengan Cakra yang sering memainkan ponsel ketika sedang berkumpul bersama atau berdua saja dengannya. Bahkan kadang tersenyum sendiri, dasar masih budak cinta ternyata.

“Nanti kakak tanya sama Galuh, dia pilih siapa antara kakak dan Rava. Kalau masih cinta kejar aja, kak.” Imbuh Hema karena Cakra masih terdiam.

“Terima kasih, ya Hema sarannya. Aku bisa cerita kayak gini juga sama kamu aja. Kalau sama Bima atau Abi pasti ujung-ujungnya mereka marah, gak ada solusi.” Kata Cakra yang sedikit menyunggingkan senyum dengan matanya yang menatap lurus pada makanan-makanan di depannya.

Bagian mananya memang yang bisa membuat sahabatnya bisa tidak marah jika Cakra menanyakan sesuatu yang jelas-jelas keliru. Sahabatnya hanya ingin menyadarkan dirinya jika pilihan seperti itu harusnya tidak ada. Dirinya diselingkuhi, bukan ditinggalkan karena hal sepele saja.

Tapi itu juga hak Cakra untuk memilih jalannya sendiri, toh sahabat-sahabatnya sudah mencoba memperingatkan. Hema pun tak berani, karena itu bukan haknya untuk melarang.

Dan satu hal yang pasti, Cakra bercerita seperti itu sebenarnya hanya membutuhkan dukungan saja, jika tak meng-iyakan ia akan terus bertanya tentang hal itu berulang kali.

==================================

Sehari setelah mereka makan bersama dan Cakra menyakan tentang pendapatnya tentang memastikan perasaan Galuh padanya. Hema mendadak mengkhawatirkan hal itu;

Apakah meng-iyakan pertanyaan Cakra itu hal yang benar? Atau malah salah? Ia takut jika pilihan itu membuat Cakra sedih dan menyakiti hatinya lagi.

Hema memejamkan matanya, memperdalam pendengarannya agar instrumen Reminiscent – Yiruma dapat mengalun menenangkan kegundahannya.

Denting piano itu selalu dapat menengkan hati dan pikirannya. Aroma vanilla mint menguar, dihirupnya dalam-dalam.

Ia mengecek lagi ponselnya, ini sudah menjadi yang ke 100 kalinya mungkin. Sudah jam 9 malam tapi tidak ada satu pun pesan masuk dari Cakra.

Biasanya mereka saling mengirim pesan setiap hari, untuk bertanya kegiatan sehari-hari merka atau bercanda saja.

“Huhhh, kak Cakra kemana ya?” lirihnya dengan helaan nafas yang panjang.

Aneh, ia tak harusnya seperti ini, merasa ada yang kurang jika tak berkabar dengan Cakra.

Akhirnya sudah 20 menit berlalu, waktu untuk berendamnya sudah selesai. Lebih baik dia cepat tidur daripada memikirkan Cakra terus-menerus.

Lima menit lagi ia sudah akan berada dalam alam mimpi, tapi dering ponselnya menarik jiwa Hema untuk tersadar kembali.

Cakra, itu nama yang terdapat dilayar ponsel Hema. Ia keheranan untuk apa menelpon malam-malam pula. Tidak biasa sekali jika Cakra itu menelpon dirinya.

“Hema, bisa datang ke apartku sekarang? Tolong.” Ucap Cakra diseberang sana dengan suara yang serak seperti habis menangis.

“Hah? Ini udah jam 21.30 malam kak. Kakak kenapa?” Tanya Hema yang kebingungan dengan permintaan Cakra yang tiba-tiba.

“Tolong kesini, aku butuh kamu Hema.” Saat ini Hema mendengar sedikit isakkan Cakra.

“Ya ampun, kakak nangis? Iya-iya tunggu sebentar ya. Aku pamit papa-mama dulu.” Sebelum Cakra sempat menjawab perkataannya, Hema sudah cepat-cepat menutupnya. Dan bergegas untuk ke apartemen Cakra.
.
.
.
Setelah menerjang angin malam, berusaha mendahului semua kendaraan yang menghalangi depan motornya, memarahi orang-orang di jalanan yang sen ke kanan tetapi belok ke kiri, akhirnya Hema sampai di apartemen Cakra dengan waktu tempuh 15 menit saja, 5 menit lebih cepat.

Motornya ia parkirkan, lalu segera bergegas menaiki lift untuk menuju ke lantai 5. Kamar nomor 501, kamar Cakra. Ia sudah beberapa kali ke apartemen Cakra, tapi tidak sendiri. Biasanya bersama Abi dan Bima, kadang juga Ipal.

Diketuk pintu di hadapannya. Tiga kali ketukan, seseorang dari dalam membukakan pintu.

Ya, itu Cakra membuka pintu dengan keadaan yang sangat berantakan; matanya sembab, rambutnya tak tertata rapi, dengan menunjukka senyum yang sangat dipaksa kepada Hema.

Ia langsung saja masuk setelah Cakra membuka pintunya, padahal belum ada ajakan untuk masuk. Tapi Hema tahu Cakra tidak bisa mengeluarkan suaranya.

Hema berjalan mendahului Cakra, ia sudah duduk di sofa depan televisi. Melihat Cakra yang masih berjalan dengan badan yang sangat lunglai, ia menepuk-nepuk tempat kosong disebelahnya, mengisyaratkan agar Cakra bergegas.

“Sini, Kak.” Ucap Hema.

Setelah Cakra sudah duduk disebelahnya, Hema menghadapkan Cakra untuk juga menghadap dirinya. Ia melihat tatapan mata Cakra yang seperti ada sesuatu yang hilang. Tanganya iya bawa ke atas kepala Cakra, merapikan rambutnya dengan sedikit mengusapnya.

“Kakak kenapa, hmm?” Lirihnya pada Cakra dengan memberikan senyuman yang hangat. Cakra hanya terdiam menggelengkan kepala dan memejamkan matanya saat merasakan usapan dirambutnya.

“Ya sudah gak usah cerita dulu kalau belum siap. Iya?” lembut sekali cara Hema berbicara, seolah memang sengaja menciptakan ketenangan.

Tanganya masih sibuk mengusap rambut Cakra. Lalu Cakra membuka matanya, menatap dalam mata Hema. Mengangguk meng-iyakan saran Hema untuk tidak bercerita jika belum siap.

Tak terasa air matanya terjatuh. Hema yang mengetahui itu segera membawa tangannya untuk mengusap air mata itu, lalu dibawanya Cakra ke dekapannya, disembunyikannya pada perpotongan lehernya.

“Hsssttt, gakpapa kak gakpapa. Kakak boleh kok nangis. Hema temenin.” Tenangnya seraya mengusap-usap punggung Cakra. Yang diusap semakin terisak, punggungnya bergetar, dan air matanya membasahi baju piyama Hema.

Iya, Hema masih menggunakan piyamanya, beralaskan sandal jepit, dan tadi berkendara tanpa menggunakan jaket. Ia terlalu khawatir saat mendengar Cakra menangis hingga tak memperhatikan penampilannya.

SWATAMITA [OFFGUN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang