3/a. Butuh Kamu 2✨️

26 2 0
                                    

Sudah 30 menit berlalu dengan posisi yang masih sama dan Cakra akhirnya sudah mulai tenang, hanya tinggal isakan-isakan kecil yang terdengar.

Hema menciptakan jarak pada dekapannya, untuk melihat bagaimana keadaan Cakra. Matanya yang sipit menjadi tak terlihat, hidungnya memerah dan berair, bibirnya bergerak seiring isakan-isakannya.

Hema tak kuasa menahan untuk tidak tertawa. Ia tertawa tapi tangannya sibuk mengambil tisu di meja depan, lalu ia usap hidung berair Cakra. Yang ditertawakan merengek seperti anak kecil. Hema tak menyangka akan melihat tampilan Cakra yang seperti ini.

“Emmm, jangan berani-beraninya ketawa ya.” Ucap Cakra dengan rengekan dan bibir yang mengerucut. Dirinya tak sadar jika sedang bertingkah seperti itu.

“Hahaha kakak sih, coba ngaca aja sana nanti bakal tau kenapa aku ketawa-” Ejek Hema pada Cakra yang semakin mengerucutkan bibirnya. “Udah sana cuci muka dulu atau mandi, terus minum biar ada stok air mata lagi buat nangis.” Masih saja ia mengejek.

“Dasar ya, seneng kamu liat aku kayak gini.” Jawab Cakra sebelum berjalan menuju toilet untuk mengerjakan perintah Hema. Dan Hema hanya menjulurkan lidahnya mengejek jawaban Cakra.
.
.
.
Hema menyalakan televisi di depannya untuk menunggu Cakra yang sepertinya sedang mandi. Disandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, ia sebenarnya menahan pegal selama 30 menit mendekap Cakra yang tubuhnya lebih besar darinya.

Ia juga sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi sampai Cakra menangis seperti itu. seharian tak ada kabar tiba-tiba menghubunginya untuk ke apartemen dan disuguhkan dengan tangisan.

20 menit waktu yang Cakra butuhkan untuk mandi, lalu ia kembali menemui Hema yang sedang merebahkan diri di sofanya sekaligus membawakan makanan ringan dan minuman untuk Hema.

Ia merasa sangat bersalah pada Hema karena tidak menyambutnya layaknya seorang tamu, malah ia bebankan dengan tangisannya.

“Ini makan dulu, atau minum. Maaf ya aku ngerepotin kamu, Hema.” Ia duduk disebelah Hema dan menaruh makanan serta minuman di meja.

“Ah, terima kasih kak. Gakpapa aku seneng kok bisa bantu kakak. Gimana sekarang udah enakan?” jawab Hema lalu mengambil sekaleng cola di meja. Dengan cekatan Cakra membantunya membukakan kaleng itu. Ia juga mengambil satu.

“Iya berkat kamu. Kamu pasti buru-buru ya sampai gak ganti baju, Maaf ya.” Tebak Cakra yang tersadar dengan pakaian yang digunakan Hema.

“Hehe, kakak sih bikin kaget masak telepon sambil nangis.” Cengir Hema.

“Kamu tidur sini aja ya, gakpapakan? Udah malem juga kalau mau pulang.” Tanya Cakra.

Hema terdiam tidak menjawab, dirinya terkejut dengan usulan Cakra. Tapi jika dipikir-pikir juga tak ada yang salah, biasanya juga ia menginap di rumah Ipal atau Abi.

“Mau ya?” diulanginya pertanyaan itu oleh Cakra. Akhirnya Hema mengangguk mengiyakan.

“Tapi tempat tidurnya satu aja dikamarku, kamu gakpapa tidur sebelahan sama aku?” Cakra memastikan agar Hema tak terkejut nanti.

“Iya kak, aku gakpapa kalau kakak juga gakpapa. Ini kan apartemen kakak, jadi ya terserah.” Jawab Hema mantap.
.
.
.
Pukul 01.00 malam, mereka memilih mematikan film yang sedari tadi menemaninya. Makanan dan minuman juga sudah habis. Setelah bersih-bersih, mereka siap untuk tidur karena sudah merasa lelah.

“Sini masuk aja. Kamu mau tidur sebelah kanan atau kiri?” Tanya Cakra.

Jika saja Cakra tau, Hema berdiam diri di depan pintu kamar itu karena merasa gugup sekali. Ia tak tahu kenapa begini, mungkin ini kali pertamanya tidur berdua saja dengan Cakra yang biasanya hanya Abi dan Ipal.

SWATAMITA [OFFGUN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang