(Off-Gun) // BxB // Tamat
Dipertemukan dalam sebuah kejadian yang menyakitkan, hati yang dipaksa utuh, Hema dan Wira mencoba membuka lembaran kisah baru.
//Saat kita sedang berdua menunggu Swatamita. Aku menatapmu memuja, indah, kamu selalu indah, b...
Lantai granit di rumah Hema agaknya lebih menarik daripada pemandangan sosok Cakra yang ada di hadapannya saat ini, yang sedang menunggu Hema berbicara yang sejak 10 menit yang lalu diam menunduk menatap lantai.
Hema menyempatkan pulang di hari Minggu untuk menjenguk orang tuanya dan menemui Cakra, tetapi sayang dari rumah ternyata orang tuanya sedang menjaga neneknya yang sedang sakit di rumahnya yang terletak di Karangasem, pagi tadi saat dirinya datang, orangtuanya akan berangkat. Ia tidak ikut karena besok harus bekerja dan ada janji menemui Cakra.
“Hema, hei kenapa diam aja? Kamu ga enak badan?” tanya Cakra yang sedikit lelah menunggu, namun Hema hanya diam.
“Emmm..enggak kak, hehe. Kak Cakra udah makan?” Katanya yang bingung mau memulai dari mana untuk menyatakan perasaannya.
“Sudah Hema, kamu jadinya mau ngomong apa ?” Jawabnya dan sedikit ingin cepat tahu apa yang akan diutarakan.
“Maaf ya kak, aku gak pandai ngomong-“ Lirihnya tapi Cakra masih bisa mendengarnya, sedikit melirik ke atas manatap raut wajah Cakra yang sedang kebingungan.
“Aku..aku suka sama kakak, ud..udah lama mungkin saat k..kak Cakra telpon aku buat ke apart dulu.” Imbuhnya dengan kepala yang bertambah menunduk, tak berani melihat Cakra. Tapi terdengar helaan nafas sayup-sayup masuk gendang telinganya.
Cakra masih terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dirinya hanya teringat perkataannya semalam saat ditanya para sahabatnya.
“Hema, hei lihat aku.” Ucap Cakra yang sudah berpindah disamping Hema, tangannya memegang kedua bahu Hema untuk menghadapkan ke dirinya. Lalu ditarik ke atas dagu Hema menggunakan tangan kanannya agar menatapnya.
Mata Hema sudah nanar, ia tak dapat melihat jernih ekspresi yang tercetak diwajah Cakra, hanya buram karena air matanya yang terbendung dengan sempurna. Kedua tangannya diremat ditumpukan di atas paha, untuk menahan tangisnya. Seolah seluruh saraf Hema sepertinya tahu akan seperti apa jadinya.
“Hema, terima kasih kamu udah mau jujur ke aku, kamu juga udah baik banget sama aku, selalu ada saat aku lagi butuh kamu, aku nyaman sama kamu. Tapi Hema, jujur saja aku masih takut untuk punya hubungan baru-“ Ucap Cakra dengan tulus dan menatap dalam iris Hema yang jernih sekali karena tersapu oleh air matanya. Ia hapus air mata yang sudah mengalir di pipinya yang sedikit merah.
“Maaf ya Hema, aku gak bisa nerima perasaan kamu, itu terlalu berharga untuk orang kayak aku. Aku belum tahu perasaanku.” Lanjutnya jujur dan mengusap naik turun kedua lengan Hema untuk menyalurkan ketenangan.
Hema yang tadinya mendongak menatap wajah Cakra akhirnya tak kuasa menahan berat kepalanya, dengan cepat kepala itu menunduk lagi dan tetesan demi tetesan air matanya membasahi celana yang ia kenakan.
Ia terisak, hatinya sesak, sangat sesak hingga dirinya bisa mengingat lagi putaran tangisannya saat mengetahui kebohongan Rava, tapi kenapa ini lebih sakit?
“Hei Hema, maaf jangan nangis, maaf.” Direngkuhnya tubuh Hema, kepala Hema bertemu dengan dada bidangnya, ia merasakan, merasakan isakan yang sangat menyakitkan, Hema yang selama ini menenangkan tangisnya, malah ia sendiri yang membuatnya menangis.
Tubuhnya bergetar, Hema kesakitan, tak berdarah, tapi mungkin di dalam sana, hatinya nyaris tak utuh.
“K..kak.. Ca..kra pulang ya, maka...sih udah ma..mau denge....er..Hem..ma.” layaknya anak kecil yang baru bisa membaca, Hema berusaha mengucapkan kalimat itu. Wajahnya di jauhkan dari dada Cakra, ia menatap Cakra dengan senyuman.
Cakra tahu, sangat tahu, senyuman itu sangat menyakitkan.
“Jangan ya, aku temenin kamu ya? Sampai kamu tenang, baru aku pulang.” Jawab Cakra.
Hema menggeleng menolak dengan tegas. Ia tak bicara, tapi ia berdiri menarik tangan Cakra agar segera berjalan ke arah pintu.
“Ma..maaf..ka..kak Cakra, ak..ku peng..en..sendiri dul..lu.” Ucap Hema seraya menutup pintu rumahnya, Cakra hanya diam dibalik pintu, ia kebingungan harus melakukan apa, perasaan bersalah sangat menyiksanya.
Di dalam sana ia mendengar Hema sedang menangis sejadi-jadinya. Pilu, sangat pilu. Tak terasa ia meneteskan air matanya. Ia mendudukkan diri di teras rumah Hema, lalu mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Abi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . . 20 Menit waktu yang dibutuhkan Abi dan Ipal untuk sampai di rumah Hema, tak menunggu lama Ipal berlari membuka pintu rumah Hema dan menghiraukan keberadaan Wira yang sedang duduk tertunduk.
“Wir, pasti qe nolak dia ya?” tanya Abi to the point, ia duduk di samping Wira dan menepuk pundak sahabatnya yang ia tahu tidak sedang baik-baik saja.
“Qe udah tau ya? sorry ya Bi aku bikin nangis sahabat qe.” Kata Wira yang masih betah memandang lantai.
“Hmm, aku sama yang lain udah tau. Tapi emang kita sing ada niat berhentiin dia-“ diusapnya punggung Wira, “biar dia tau gimana harus bersikap ke qe setelah itu, biar dia sing berharap terus, biarin dia sakit sekarang. Qe udah bener kok, qe harus jujur sama perasaan sendiri.” Imbuhnya lalu menepuk punggung sahabatnya itu,
“Udah qe pulang dulu istirahat. Di sini biar aku sama Ipal yang nemenin dia. Thanks udah ngabarin kita dan sing ngebiarin dia sendiri. Hati-hati.” Senyum Abi yang lalu beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam rumah Hema.
Nyatanya, Hema belum siap dengan penolakan. Resiko yang diterima, Hema belum mempersiapkan hatinya. Hanya mulutnya, "Aku Siap".