2/c. Takdir Tuhan 2✨️

30 2 0
                                    

Siapa yang menyangka akan rencana Tuhan ini?

Apakah ini waktu yang sangat pas Tuhan ?

Itu suara curhatan Hema jika kalian tau. Hema yang tersadar langsung tertunduk malu menyembunyikan kepalanya ditumpuan kedua tangannya yang terletak di atas tekukan lutut pun Wira yang membawa tangannya untuk menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal dengan bibir yang sedikit tersenyum.

Tidak ada yang mencairkan kecanggungan di antara mereka.
Dengan suara agak lirih, Hema memilih untuk mengajak bicara.

"Hai, Kak Wira ya?" Pertanyaan yang konyol, karena ia sudah tahu jawabannya. 'Maaf Hema aku sudah bekerja keras' kira-kira begitu suara otaknya.

"Eh, iya Wira. Hema kan?" Sama saja, kenapa harus saling melempar pertanyaan aneh ini?

"Iya kak, maaf ya tadi aku gak tahu kalau kakak di sini." Sedikit senyuman disuguhkan kepada Wira.

Jika diputar waktunya, dulu saat pertama kali berkirim pesan Wira yang menyuruh untuk relax, tapi jika bertemu langsung dirinya yang diterpa ketegangan.

Bohong jika ada yang berkata tidak menyukai Hema. Orang itu pasti rabun, jika dari foto yang dilihatnya Hema adalah orang yang cantik dan tampan, tapi saat bertemu langsung, bertatapan mata, sungguh ini pertama kalinya ia terkagum atas ciptaan Tuhan.

Hema indah, ralat, sangat-sangat indah. Badannya yang mungil berliuk ditutupi dengan tight swimwear pendek, rambutnya yang basah, bibir yang penuh pink sedikit pucat, matanya yang, eh cukup berhenti untuk terkagum.

"Iya, Hema gakpapa. Aku juga gak tahu kamu di sini juga." Jawabnya. Hema hanya terdiam.

"Kamu bisa surfing ya? wah keren banget." Kata Wira lagi dengan mengangkat jempolnya. Hema hanya tersenyum malu mendengar pujian Wira.

"Kamu mau main lagi?" Wira agaknya paham pasti Hema masih malu karena kejadian pertemuan mereka yang tak direncanakan.

"Enggak sih kak. Oh, aku mau beli es kelapa aja disana. Panas banget." Jawabnya dengan menunjuk ke arah kanan pada penjual es kelapa muda. Wira pun mengikuti arah jari Hema, sekitar 100 meter di kanan mereka.

"Ayo aku temenin, sekalian sambil ngobrol-ngobrol. Boleh?" Wah Wira tersenyum, tampan sekali batin Hema.

"Boleh kak, yuk." Ajaknya yang sudah berdiri, tanpa disadari ia mengulurkan tangannya dihadapan Wira untuk memberinya bantuan saat berdiri. Wira terdiam, Hema pun tersadar dengan tingkahnya dan menarik lagi uluran tangannya dengan semburat merah di pipinya. Lucu, pikir Wira.

"Ah, maaf kak. Aku gak sadar." Katanya dengan menggaruk kepalanya untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Lucu." Lirih Wira, yang nyatanya angin masih bisa membawanya ke pendengaran Hema.
.
.
.
Sudah 45 menit kepergian Abi dan Ipal, tapi keberadaan mereka masih belum terlihat. Sepertinya mereka memang berencana meninggalkan dua orang yang sudah bisa menertawakan sesuatu bersama disela-sela obrolannya.

Sungguh, pasti tidak ada yang tahu jika mereka adalah dua orang yang baru pertama kali bertemu.

Hema sudah menjadi dirinya sendiri, ceria, mudah akrab, tidak seperti tadi yang malu-malu. Tidak ada canggung di antara keduanya. Walau kebanyakan Wira sebagai pendengar dan Hema yang mendongeng dengan antusias.

Ia sungguh menikmati obrolan ini, sampai lupa dengan masalah-masalah hidupnya. Tampaknya Hema memang pendongeng yang handal.

Sampai pada ketika Hema bercerita tentang kegiatan di sekolahnya, Wira tiba-tiba memotong ceritanya dan bertanya, "Kamu kenal yang namanya Zravasya gak di sekolah?"

Dari sekian banyak pertanyaan menarik seperti suka olahraga apa, ikut kegiatan apa, mengapa memilih jurusan perhotelan, agaknya itu lebih nyambung daripada pertanyaan yang membuat raut wajah Hema kini berubah dan terdiam seketika.

Kenapa harus nama itu yang ditanyakan? Batin Hema yang sudah kesal. Ia yakin yang dimaksud itu adalah Rava, mantan gebetannya. Tapi untuk menghormati, ia pun menjawab dengan nada yang seolah tidak malas.

"Kenal kak kalo yang kakak maksud Bagus Zravasya anak tata boga." Wira tak ada niat menjawab, "Kenapa, kak? Kenal ya?" tanyanya kepada Wira.

Masih memilih diam, mata Wira menatap ke depan seolah menerawang jauh di lautan lepas. Hema pun ikut terdiam, tidak mau mengganggu Wira yang sepertinya berpikir tentang sesuatu.

"Mau aku ceritain sesuatu gak?" Akhirnya Wira bersuara setelah menikmati terpaan angin di wajahnya, sedikit menggosok kedua matanya agak berair selagi menunggu jawaban Hema.

"Boleh kalo kakak mau cerita. Hema mau kok dengerin." Jawabnya dengan senyum yang hangat, rambutnya yang sudah mengering diterpa angin pantai.

Indah, Wira masih saja terkagum dengan sosok di depannya. Ada kehangatan dari cara menatapnya, seperti memberi rasa nyaman yang akhirnya membuat Wira memutuskan membagi kisahnya padahal jika dipikirkan lagi mereka masih belum genap 1 minggu berkenalan.

"Kurang lebih satu bulan yang lalu aku putus sama mantanku."

SWATAMITA [OFFGUN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang