7/a. Sekuat karang✨️

37 6 1
                                    

Hari Minggu sore menuju malam sedang mendung, namun seorang manusia cantik yang patah hati nampak ingin bersaing dengan gelapnya langit.

Siapa diantara mereka yang akan lebih dulu menumpahkan airnya.

Matanya yang layu menatap kosong, betah memandangi pantulan nyala lampu yang disuguhkan air sungai Taman Pancing – tempat favorit Hema – sudah hampir 24 jam lewat dari waktu dirinya mengetahui kebenaran tentang Cakra. Hatinya nyeri, pikirannya kosong, pun dengan otot-otot tubuhnya seolah tak mampu menggerakkan raganya, matanya lelah dipaksa menguras semua stok air matanya.

Hema duduk dengan lutut menumpu kedua tangan untuk menyembunyikan kepalanya yang pening, ia kelelahan.

Bukan perihal Cakra yang lebih memilih mantan kekasihnya dahulu sebelum dirinya, namun tentang apa kurangnya dirinya, ia sibuk menyalahkan diri sendiri, mencari setiap kekurangan dirinya.

Seolah kekecewaan bukan lagi ujian, tetapi makanan yang harus Hema santap setiap harinya. Ia mulai mengisak lagi, bahunya bergetar, langit semakin menggelap, dinginnya angin semakin memeluk tubuh Hema ikut serta membekukan hatinya.

Maaf langit, biarkan kali ini Hema memenangkan persaingan. Biarkan air matanya kering agar esok tak repot menggantikanmu menangis.
.
.
.
Kepulangan yang direncanakan dari 2 minggu sebelumnya mendadak dimajukan, berkas-berkas yang perlu disiapkan ternyata lebih cepat selesai dari perkiraan. Ia harus pulang ke Bali untuk mengurus pemindahan kepemilikan resort Dharmesta yang dikelola papanya, karena papanya sibuk dan akan fokus mengurus pembangunan resort baru di Malaysia.

Setelah hampir 4 tahun dirinya pindah ke Singapura, Galang tak jadi melanjutkan ke perguruan tinggi. Dirinya meminta ke orang tuanya, jika memang harus dipindahkan ke sana maka ia harus diperbolehkan untuk menekuni karirnya sebagai model dan ya papanya setuju dengan syarat jika mereka menyuruhnya mengurus resort kapanpun dibutuhkan maka ia harus juga setuju.

Dan inilah waktu dibutuhkan papanya, yang membawanya pulang ke tempat kelahirannya, satu-satunya tempat yang disitu ada manusia kecil kesangannya.

Waktu telah berjalan hampir 4 tahun, namun rindunya seolah tak pernah ikut berjalan, rindunya setia meninggalkan jejak dimana-mana diseluruh ruangan hatinya. Rapalan do’a setia ia suarakan kepada Tuhannya, berharap akan sampai meski hanya satu yang didengar.

5 hari lagi adalah jadwal yang direncanakan untuk menemui seseorang itu, iya Gunnya. Gun yang dulu harus ia relakan untuk kepergiannya, manusia yang sampai saat ini masih menjadi pemilik tempat dihatinya.

Menunggu 5 hari atau 120 jam, layaknya 120 hari lamanya sungguh ia tak sabar. Maka untuk mengisi waktu bosannya hari itu datang, Galang memutuskan untuk berjalan-jalan, meski langit sore sedikit gelap namun 4 tahun tak pernah menapak tanah Bali maka tak menjadikan masalah baginya.
.
.
.
Mobil hitamnya membawa tubuh Galang menuju tempat bersantai yang cantik dan menenangkan, setibanya di sana ia berjalan menyusuri jalan berumput yang hijau dan sedikit meninggi melahap tapakan sandalnya.

Saat matanya betah melihat jejak-jejak yang ditinggalkan langkahnya, ekor matanya menangkap siluet seseorang yang dikenalnya, siluet seseorang yang bayangannya mengikuti kemanapun ia berada.

Galang terburu-buru menghampirinya, manusia yang dipercaya adalah Gun, sedang duduk meringkuk membenamkan kepala pada lututnya. Lalu-

“Gun?” Panggilnya dengan berjongkok dan menepuk pelan bahu seseorang yang dipercaya adalah Gun.

Yang merasakan tepukan itu menoleh, menatap untuk membenarkan dugaannya bahwa itu adalah suara Galang yang memanggilnya. Dan benar, saat mata mereka bertemu Hema terkejut dan mengencangkan tangisannya.

SWATAMITA [OFFGUN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang