IF. 07

24.6K 1.9K 11
                                    

Vote vote vote!
Typo tandainnnn

50 vote baru saya lanjut.

Selamat membaca~

***

"Biar mama buatkan yang baru, oke? Kamu duduk dan tunggu." Neva melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Davin dan hendak pergi.

Davin yang melihat Neva akan pergi ke dapur, dengan cepat ia meraih tangan Neva dan menggenggamnya. "Gak perlu, mama pasti capek. Mending mama istirahat, aku juga mau langsung istirahat." Davin kembali melepaskan tangan Neva, ia mengusap lembut pipi Neva dengan ibu jarinya. Setelahnya ia pergi ke lantai atas dimana kamarnya berada.

Neva terdiam di tempatnya, ia menatap sendu punggung Davin yang semakin hilang tertelan jarak. Sudah lama ia tak bertemu dengan putra bungsunya itu. Ia gelisah karena belum pernah melihat Evan seperti ini.

"Udah lah, Ma. Evan itu sudah besar, kalau dia mau makan, dia bisa ambil sendiri." Neva tersentak ketika bahunya di usap lembut oleh Jason. Tatapan Neva yang awalnya sendu, sedetik kemudian berubah sedikit tajam. Ia menatap Jason dengan tangannya yang menepis pelan tangan Jason yang bertengger di bahunya.

"Mau bagaimanapun, Evan itu putra mama. Putra kesayangan mama. Pa, mama tau papa menginginkan yang terbaik untuk anak-anak kita, tapi papa gak perlu menekan mereka juga. Seperti kata papa, mereka udah besar, pa. Mereka sudah bisa menentukan jalan hidup yang ingin mereka pilih." mata Neva berkaca kaca, ia mendongak untuk menatap Jason yang lebih tinggi darinya.

Jason menghela nafas kecil ia meraih pinggang Neva dan mendekap nya. "Papa tahu, papa menyesal. Papa nanti akan minta maaf sama Evan dan Vian. Papa akan berusaha untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan kita, maaf kan papa." Jason berucap lirih sambil memeluk Neva, melupakan dua pemuda yang menatap mereka datar.

***

"Heh, aku kan meminta mu untuk menyelesaikan masalahku, tapi kau malah menambah masalah saja."

Evan berseru dengan menggebu gebu, sedangkan Davin hanya mendengus mendengar perkataan Evan.

"Lho, siapa suruh om menyuruhku? Lagian tenang saja, aku akan menyelesaikan masalah om dengan caraku sendiri." Davin memejamkan matanya, ia saat ini tengah berbaring di atas kasur dengan nyamannya.

"Ngomong-ngomong, apa aku perlu memperbaiki hubunganmu dengan anakmu juga? Ah~ kalau iya, aku gak-"

"Harus mau, dong! Apa gunanya kau masuk kedalam tubuhku kalau bukan menyelesaikan masalahku!"

Evan dengan cepat memotong perkataan Davin, ia berteriak di dalam benak Davin sampai membuat Davin meringis kecil.

"Santai dong, lagian mana ku tahu kalau aku akan masuk kedalam tubuh om." Davin menumpangkan kakinya, membuat Evan berdecak sebal.

"Kau tidur saja sana, aku lelah mendengar suara mu itu, bocah!"

Davin terkekeh mendengar perkataan Evan yang sangat tidak santai itu. Ia memejamkan matanya mencoba untuk tidur.

"Aku lapar." Ia kembali membuka matanya dengan tangan yang memegang perutnya yang tiba-tiba saja berbunyi.

"Lagian siapa suruh kau menolak di masakan makanan sama mama, sih! Ginikan jadinya. Kau tanggung saja sendiri!"

"Eh, aduh mana ku tahu bakal kelaparan tengah malam gini." Davin terdiam menunggu tanggapan dari Evan. Namun setelah menunggu lima menit, tidak ada tanggapan dari Evan.

"Dasar, ya! Awas saja aku tidak mau menyelesaikan masalahmu!"

***

Davin terbangun di tengah malam karena lapar, ia mendudukkan dirinya. Davin meraih segelas air di atas nakas dan meminumnya.

"Minum biar kenyang." Davin turun dari ranjang dan pergi ke luar kamar.

Ia pergi ke dapur untuk mengambil air lagi.

Sesampainya Davin di dapur, ia langsung mengisi gelasnya dengan air putih dan meminumnya.

Davin minum sekitar empat gelas, ia bahkan bersendawa dengan keras karena terlalu banyak minum, perutnya juga sepertinya kembung.

Davin berbalik dan kembali ke kamarnya, ia membaringkan tubuhnya dan mencoba tidur lagi.

Tapi sepertinya matanya tidak ingin menutup, Davin pun kembali beranjak dan pergi ke balkon kamarnya.

Angin dingin berhembus menerpa tubuh Davin, suara jangkrik terdengar samar-samar di telinganya.

Davin menumpu tangannya di pembatas balkon dan melihat ke bawah, dahinya berkerut ketika melihat seorang pemuda yang duduk bersandar di kursi halaman rumahnya sambil merokok.

"Itu siapa? Malem-malem gini bukannya tidur malah ngerokok." Davin bergumam kecil. Kakinya tanpa diminta, berjalan masuk kedalam kamar, ia kembali menutup pintu balkon dan mengunci nya.

Ia berjalan keluar kamar dan turun ke bawah, ia keluar dari rumah dan pergi ke tempat dimana pemuda tadi duduk.

Tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di tempat pemuda itu. Davin mengibaskan tangannya ketika asap rokok yang tak sengaja ia hisap.

Davin dulu memang bukan perokok, ia tak menyukai rokok. Selain karena tidak mempunyai uang untuk membelinya, ia juga tidak suka dengan asap rokok yang sangat mengganggu.

"Kenapa tidak tidur?" Davin rasanya ingin merutuki mulutnya yang tiba tiba bersuara, bahkan ia bisa melihat punggung pemuda itu yang tersentak kaget.

Pemuda itu menoleh dengan wajah kagetnya, namun sedetik kemudian wajahnya kembali datar.

"Mau apa kamu, kesini?" pemuda itu yang tak lain adalah putra bungsu Evan itu bertanya dengan nada yang tidak bersahabat.

Davin tersenyum maklum, ia beralih mendudukkan dirinya di samping Kevano.

Davin merebut paksa rokok yang di pegang oleh Kevano dan menginjaknya.

"Umurmu baru tiga belas tahun, kan? Siapa yang mengizinkanmu merokok?" Davin menatap Kevano sedikit tajam, Sedangkan Kevano hanya melirik Davin sekilas lalu kembali mengalihkan tatapannya.

"Lagian siapa yang peduli?" Kevano membalas dengan acuh tak acuh, ia kembali mengambil bungkus rokoknya dan mengambil satu batang rokok untuk ia sebat.

Namun, lagi-lagi Davin merampas rokok milik Kevano dan menginjaknya.

"Bagaimana kabar mu?" Davin segera mengalihkan topik ketika melihat wajah kesal Kevano.

"Aku? Entah. Ayah ibuku pergi, nenek dan kakek ku sibuk lalu kakakku yang membenciku. Apa menurut mu itu baik?"

Bersambung

Mlkchz
161223

Impromptu Father! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang