IF. 22

15.5K 1.3K 8
                                    

Vote!

Selamat membaca~

***

Kaivan duduk di sofa dengan perasaan cemas. Sudah dua jam lebih ayahnya keluar dan belum kembali.

"Lagi ngapain sih, bang? Ayah kemana? Kok aku cariin gak ada?" Kevano datang dan duduk di sebelah Kaivan.

"Gatau, ayah belum pulang." Kaivan menjawab seadanya. Ia mengusap wajahnya kasar.

"Masa sih? Bukannya ayah tadi bilang mau belanja? Kok lama?" Kevano kembali bertanya, sedangkan Kaivan yang juga tak tahu alasannya pun hanya mengendikkan bahu.

Kaivan beranjak, ia naik ke lantai atas menuju kamarnya meninggalkan Kevano yang melamun memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menghambat Davin pulang.

Tak lama, Kaivan turun dengan membawa laptop miliknya. Ia duduk di samping Kevano dan mengotak atik laptopnya.

Kevano hanya diam dan melihat, ia sudah tau apa yang sedang Kaivan lakukan.

Kening Kaivan berkerut ketika melihat lokasi mobil Davin. Kaivan memang memasang GPS di mobil milik Davin, ia takut jika Davin kembali pergi meninggalkan mereka. Jadinya Kaivan memasang GPS itu secara diam-diam.

"Mobilnya cuma diem, mogok mungkin?" Ucap Kevano menyuarakan apa yang tengah ia pikirkan. Kaivan yang mendengar itu mengangguk setuju.

"Kita tunggu sebentar lagi, kalo ayah masih belum pulang, kita cari." Ujarnya memutuskan. Kevano mengangguk, matanya berulang kali melirik ke pintu utama.

Cukup lama Kaivan dan Kevano menunggu. karena tak tahan, Kaivan akhirnya berdiri, diikuti oleh Kevano.

Kaivan melangkah dengan langkah lebar menuju ke pintu, di belakangnya ada Kevano yang mengikuti kemanapun ia pergi.

Ceklek

Tangan Kaivan yang akan membuka pintu terhenti ketika pintu itu duluan terbuka, mata Kaivan  terbelalak ketika bersitatap dengan ayahnya.

"Ay-

Brukk!

Davin- lebih tepatnya Evan ambruk, beruntung Kaivan dengan sigap menahan tubuh ayahnya itu.

"Wajah ayah babak belur!" Kevano berseru ketika melihat wajah Evan yang terdapat banyak lebam. Baju yang di kenakan oleh Evan juga robek robek.

Kaivan mengangguk, ia dengan di bantu oleh adiknya kemudian memapah tubuh ayahnya itu ke kamarnya.

Setelah membaringkan Evan, Kevano langsung beranjak untuk membawa kotak p3k sedangkan Kaivan mengganti baju Evan yang sangat kotor.

"Kok bisa gini, sih?" Kaivan bergumam, ia sangat khawatir dengan ayahnya saat ini.

Setelah mengganti baju Evan, Kaivan duduk di tepi ranjang. Tak lama, Kevano datang dengan membawa kain, sebaskom air dan juga kotak p3k.

Setelahnya, Kevano membersihkan luka luka Evan dengan Kaivan yang mengoleskan salep ke luka yang telah di bersihkan oleh Kevano.

Sedangkan Evan yang masih setengah sadar hanya melihat kegiatan kedua putranya  dengan senyum kecil miliknya, setelah itu ia kehilangan kesadaran sepenuhnya.

Setelah selesai mengobati luka-luka Evan, Kevano dan Kaivan akhirnya bisa sedikit bernafas lega. Mereka sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi.

Kevano dan Kaivan saling pandang, kemudian mereka mengangguk kecil dengan serempak.

***

Esok paginya, Davin terbangun dengan tubuhnya yang terasa sakit semua.

"Aduuh, om kenapa sih? Padahal kemaren langsung kabur aja, jangan pake acara baku hantam segala." Davin menggerutu, sekujur tubuhnya sekarang terasa sakit dan linu ketika di gerakkan. Alhasil ia hanya bisa tiduran di kasur.

"Dasar lemah! kau ini lelaki atau bukan, sih?" Evan berseru kesal, sudah dibantu bukannya berterimakasih malah protes.

"Aku kan tidak terbiasa dengan rasa sakit seperti ini. Lagian, dulu aku bahkan hampir tidak pernah berkelahi dengan siapapun. Sejak aku masuk kedalam tubuh om, aku jadi sering kena pukul." Davin masih saja menggerutu, tangannya mengusap-usap pundaknya yang terasa sakit.

"Itulah, kau harus terbiasa. Kau sekarang sudah menjadi dewasa, bukan bocah berumur 18 tahun lagi." Evan berujar menasehati, Davin akhirnya mengalah. Ia diam sambil memandangi langit-langit kamar.

Ceklek!

Davin sedikit tersentak ketika pintu kamarnya terbuka. Ia menoleh, disana sudah ada empat orang manusia yang berdiri sambil menatap penuh padanya.

"Ayah udah bangun?" Kevano berseru dan langsung menghampiri Davin yang jelas-jelas sudah bangun.

"Dok, tolong periksa ayah saya." Kaivan berujar kepada seorang wanita berjas putih yang datang bersama dengan Kevano, Kaivan dan Alan.

"Kalian gak sekolah?" Davin menatap mereka satu persatu. Kevano yang mendapat pertanyaan itu menyengir lebar.

"Enggak, lagian kan gak ada yang anterin." Katanya. Davin mendengus kecil, padahal mereka bisa saja naik taksi online, zaman sekarang kan sudah canggih.

"Padahal kalian masih murid baru." Davin berseru menyayangkan.

"Permisi." Dokter wanita itu mulai memeriksa Davin, Davin menurut saja. Sedangkan ketiga bocah yang ikut ke kamarnya itu terlihat memperhatikan.

"Kondisi nya cukup baik, tidak ada patah tulang, infeksi ataupun cedera serius. Hanya ada lebam dan luka goresan saja di beberapa anggota tubuhnya yang mungkin akan sedikit membekas. Saya akan meresepkan obat pereda nyeri dan salep agar lukanya bisa cepat kering." Dokter wanita itu berujar menjelaskan sambil menatap mereka satu persatu.

"Baik, terimakasih dok." Kaivan mengangguk dan tersenyum ramah, ia kemudian mengantar dokter itu ke luar.

Kaivan menatap mobil Dokter wanita itu yang berlalu dari pekarangan rumahnya dengan tatapan datar.

Ia menghela nafas kecil, kemudian berbalik dan hendak masuk ke dalam rumah lagi sebelum sebuah suara menginterupsi

"Permisi, pakeet! " Kaivan kembali berbalik, keningnya sedikit berkerut ketika melihat seorang kurir yang datang.

"Ya?" Kaivan berjalan menghampiri kurir itu, kemudian tersenyum ramah.

"Apa benar ini rumah Evander Miller?" Kaivan mengangguk. Kurir itu tersenyum dan menyerahkan sebuah kotak paket kepada Kaivan.

Setelah menyerahkan kotak paketnya, kurir itu langsung naik ke atas motornya lagi dan berlalu pergi meninggalkan Kaivan yang memandangi kotak di tangannya.

"Paket apa?" Kaivan mengerutkan keningnya ketika tidak ada informasi pengirim, di sana hanya tertulis nama dan alamat penerima.

Kaivan mengguncang kotak itu sampai menimbulkan suara. Karena penasaran, ia pun membuka kotak itu.

Baru saja ia membuka selotip nya, bau tak sedap langsung menyeruak. Kaivan dengan tergesa gesa membuka kotak itu. Matanya sedikit membelalak ketika melihat organ dalam manusia yang sudah membusuk dan di gerogoti belatung.

Kening Kaivan berkerut ketika melihat sebuah kertas dengan dipenuhi bercak darah dan beberapa belatung yang menempel.

Tangan Kaivan terulur mengambil kertas itu, dan membaca tulisan yang tertera disana.

"Jangan kira dengan kau yang berasal dari keluarga terpandang kau akan lepas dariku, Evan."

Wajah Kaivan menggelap, ia mengerti isi dari 'paket' itu. Ia kembali meletakkan kertas itu di salam kotak dan menutupnya.

Dukk

Kaivan membanting kotak itu ke dalam tong sampah hingga isi dari kotak itu keluar. Tangannya mengepal erat.

"Sebelum itu, aku akan mengirim jasadmu ke rumah duka!"

Bersambung

Mlkchz
050124

Impromptu Father! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang