Extra Chapter II

17.9K 1.3K 29
                                    

Senyum dong!

Vote gak, lu?! Vote dulu, sayaang!

Selamat membaca~

Kaivan berdiri membeku di tempatnya, begitu pula dengan Kevano dan Alan. Mereka menatap sang ayah dengan tajam.

"Apa ini alasan ayah bertanya seperti tadi di dalam mobil?" Alan bertanya.

"Jangan bermain-main!" Kevano menggeram dengan wajah menggelap, Tangannya mengepal.

"Sejak kapan?" Kaivan bertanya, matanya menatap lurus mata Davin.

Davin bergeming di tempatnya. Ia sudah menduga reaksi seperti ini dari mereka, tapi tetap saja ia takut.

Jujur saja, ia sudah sangat menyayangi tiga pemuda di depannya. Walaupun mereka bukanlah anak kandungnya, tetapi hanya mereka yang ia miliki.

Ia sadar jika mungkin saja, dengan pengakuannya ini, perlakuan mereka terhadapnya akan berubah. Tak seperti dulu lagi.

Walaupun dirinya sempat lega dengan perkataan Kaivan ketika mereka masih di mobil, ia merasa seperti.. menjadi manusia ter egois.

Tubuh yang ia tempati adalah tubuh milik Evan, bukan miliknya. Tak sepantasnya ia menikmati apa yang seharusnya Evan terima.

Ia gelisah. Sejak kecil, dirinya tak memiliki keluarga ataupun sanak saudara. Dan itu adalah salah satu alasan kenapa ia tumbuh menjadi anak yang tertutup.

Davin hidup dalam kerasnya dunia sendirian, tanpa orang tua dan teman. Ia tak memiliki teman, jelas karena dia pendiam sekali di sekolah.

Bahkan teman sekelasnya saja enggan satu kelompok dengannya, bagaimana ia bisa memiliki teman?

Itulah kenapa ia tidak ingin kehilangan mereka. Davin tidak mau lagi hidup sendiri. Dirinya tidak mau lagi kesepian. Sudah cukup selama ini ia kesepian. Ia sudang kenyang.

Sejak ia masuk kedalam tubuh Evan, Davin mulai sedikit terbuka. Ia merasa bahagia, karena ternyata, hadiah yang Evan maksud adalah mereka. "Sesuatu yang tak ia miliki."

Keluarga.

Satu kata yang tak pernah hadir di dalam hidupnya sebelumnya. Ia pikir, tidak apa tidak memiliki keluarga. Karena mau ada atau tidaknya keluarga, ia pasti akan tetap hidup.

Tapi nyatanya salah. Memang benar ia masih hidup, tapi hatinya lah yang mati. Davin akui, jika ia satu pemikiran dengan Evan.

"Pergi sebelum di tinggalkan, menghilang sebelum merasa kehilangan."

Entah darimana pemikiran itu berasal, tetapi ia akan melakukan apapun agar tidak kehilangan.

Ia memilih menjadi anak yang pendiam, tidak berteman dan tidak menjalin hubungn dengan siapapun. Hanya karena takut.

"People come and go."

Ia tak menyukai kalimat itu.

###

Davin menundukkan kepalanya sejenak, kemudian kembali mendonggak untuk menatap mereka.

"Aku-"

"Kai bertanya, sejak kapan?!" Kaivan memotong perkataan Davin. Ia menatap tajam ayahnya itu.

"Sudah lama." Davin menjawab pelan.

"Kai bertanya sejak kapan, bukan sudah lama atau tidak nya!" Davin menatap lamat Kaivan. Ia kemudian menghela nafas kecil.

"Satu tahun lalu, sebelum kakekmu membawaku pulang." Katanya menjawab tanpa menatap Kaivan, ia menatap kuburan 'nya'.

"Entah bagaimana, aku masuk kedalam tubuh ayah kalian. Dan entah bagaimana pula, tubuhku hilang dan ditemukan telah membusuk." Davin melanjutkan perkataannya. Ingatannya menerawang ke kejadian-kejadian di masa lampau.

"Kalian tidak perlu khawatir, Ayah kalian masih ada. Aku akan bertukar dengannya untuk kalian." Davin tersenyum tipis menatap mereka.

"Apa yang kau katakan, Davin? Bukankah kita sudah sepakat?" suara Evan terdengar.

"Diam dulu, om."

"Setahun ini aku-"

"Kenapa ayah berbicara seolah-olah ayah akan pergi?" Kevano berujar dengan tatapan yang menghunus.

"Bukanka-"

"Ayah ingin pergi?" Kaivan menatap tajam sang ayah, ia melangkah mendekati Davin.

Alan diam dengan mata yang menatap Kaivan datar. "Mulai lagi dia" batinnya.

"Ayah gak boleh pergi. Kalau ayah pergi, ayah harus bawa kai. Kai gak peduli kalau ayah bukan Ayah kai, karena ayah sampai kapanpun akan tetap menjadi ayah kai. Apapun yang terjadi!" Kaivan berujar dengan penuh penekanan. Ia menggenggam pergelangan tangan Davin dengan erat.

"Kai, tap-"

"Gak boleh! Yang selama ini sama kita itu kamu, Davin. Bukan Evan!" Davin menggeleng, ia menepis tangan Kaivan pelan.

"Aya-"

"Dengar dulu, Kaivan!" Suara Davin naik, membuat Kaivan menatapnya tak percaya.

"Ayah bentak Kai?" Kai melangkah mundur, menjauhi Davin.

Kevano dan Alan yang melihat itu memutar bola matanya malas.

"Drama!" Mereka bergumam dengan mata yang menatap malas Kaivan.

"Ayah kalian itu Evan, bukan aku. Aku senang jika kalian menganggapku ayah kalian, tapi bukankah aku egois jika aku saja yang merasakan kasih sayang dari kalian? Dia itu ayah kalian!" Davin berseru, ia menatap mereka bergantian.

"Bilang saja kau ingin membagi pekerjaanmu padaku." Evan berujar malas, ia sudah tahu niat terselubung yang Davin pikirkan.

"Om juga mau kan menghabiskan waktu bersama mereka?" Davin membalas dengan nada mengejek, membuat Evan mendengus.

"Cih!"

***

Evan menghela nafas lelah, badannya gerah dan tiga bocah di rumahnya itu terus saja menempel padanya.

"Ayah, jangan gerak gerak, Kai ngantuk~" Kaivan memeluk erat pinggang Evan, sedangkan Evan hanya pasrah saja.

Mereka saat ini tengah tiduran di kamar Evan, dengan posisi Evan di tengah diapit oleh Kaivan, Kevano dan Alan.

"Menyingkir dulu, ayah mau mandi." Evan berujar dengan nada lemas.

Evan kembali menghela nafas ketika mendengar dengkuran halus anak anaknya itu.

"Rasain!" Davin berseru menertawakan Evan. Evan yang mendengar itu mendengus.

"Kau juga nanti akan merasakannya, lihat saja kau, aku akan tertawa paling kencang!"

End

Ini beneran End yaaa 😭

Baik kan aku? :)

Mlkchz
180124

Impromptu Father! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang