Lisa terdiam. Tiba-tiba pikirannya berkecamuk juga memikirkan hal-hal yang ia pikirkan selama ini. Tentu, semuanya tentang Vanka. Apakah kali ini juga penyebabnya adalah gadis itu? Bisa juga kan, jika Areeza mulai kembali dengan gadis masa lalunya.
Dengan spontan Lisa menjawab, “Aku nggak mau.”
“Kenapa tiba-tiba kamu jadi gini, Al? Aku ada salah sama kamu?” tanya Lisa.
Lelaki itu bergeming sembari menatap wajah polos milik kekasihnya. Entah, ia sangat sayang dengan gadis di depannya, tapi ia juga butuh jarak untuk memahami Lisa dan agar gadis itu juga paham akan apa yang ia inginkan.
“Kamu gak ada salah, Lis. Aku yang salah, aku egois. Aku pengen kamu ngertiin aku, tapi aku sendiri gak bisa ngertiin kondisi kamu sekarang,” ungkap Areeza.
Lisa mengernyitkan dahinya tak mengerti. Tak bisa memahami seperti apa yang dimaksud Areeza.
“Kenapa, sih? Coba jelasin biar aku ngerti,” pinta Lisa.
Lelaki itu menghela napasnya pelan, lalu menggiring gadisnya untuk duduk di sana, rooftop yang beralaskan semen putih.
Mereka duduk berhadap-hadapan dan Areeza mulai menjelaskan hal yang mengganjal di hatinya selama beberapa hari bahkan bulan yang lalu.
“Aku ngerasa butuh waktu sama kamu. Kamu sibuk terus, Lis, aku ngerasa kamu gak punya waktu buat aku. Maaf ya kalo kesannya aku kayak anak kecil, tapi aku emang butuh waktu kamu Lis. Dan sebentar lagi aku lulus, aku mau—”
“Mau apa?” tanya Lisa yang merasa ucapan Areeza selanjutnya adalah ucapan yang tak ingin ia dengar.
“Aku mau lanjut kuliah di luar negeri, Lis. Di Oxford, aku pengen kuliah di sana sama kayak Baba,” jawab Areeza seadanya. Tatapannya meluruh kala melihat Lisa yang menunduk lemas dan tak lagi memandang ke arahnya.
“Aku awalnya gak yakin Lis, mau kesana, tapi Baba dukung aku buat kesana. Kamu mau kan, kalo kita break sebentar? Itung-itung latihan juga buat kamu, kan habis ini aku tinggal jauh.” Lelaki itu tersenyum simpul, mengingat kesedihan yang sebenarnya akan segera datang.
Areeza memegang lengan gadisnya dengan lembut, ia Tarik pelan agar Lisa berbalik ke arahnya. Dilihatlah gadisnya yang menangis tanpa suara, menundukkan kepalanya dan menahan isak tangis yang sakit itu.
Areeza menarik Lisa ke dalam pelukannya dan mengelus lembut punggung kecil gadisnya. Ia juga mengelus lembut surai hitam panjang milik gadis itu untuk sedikit menenangkannya. Bukannya semakin tenang, gadis itu semakin gencar menangis dan mengencangkan pelukannya pada Areeza.
Areeza tersenyum pelik dibalik tangis gadis yang ia sayangi itu. Hanya dengan membayangkan perpisahan itu saja membuatnya tak mampu untuk meninggalkan dan berjauhan dengan Lisa. Sungguh ini menyiksa!
Perlahan Lisa menguraikan pelukannya dan menatap Areeza dalam.
“Harusnya, kalo waktu kita semakin dikit, kamu gak minta aku buat ngejauh, tapi minta aku buat makin deket sama kamu,” ujar Lisa.
Lelaki itu kembali menampilkan senyum singkatnya. “Kamu sibuk, Lisa, aku gak mau ganggu.”
“Aku gak pernah sibuk kalo buat kamu!” tegas Lisa.
“Kamu bilang kalo butuh aku, kalo kangen aku, kalo mau main sama aku. Semuanya bisa diomongin, Al. Kalo kamu diem aja, ya aku gak bakal ngerti.” Kini Lisa memberi penekanan pada Areeza. Memang, kunci hubungan adalah komunikasi. Ketika dua pihak tak lagi mengkomunikasikan apapun, maka tak ada lagi istilah hubungan sebenarnya.
“Makasih ya, Lis. Maaf, ternyata selama ini aku yang salah paham tentang kamu.”
“Kalo aku minta waktu kamu di tengah-tengah kesibukanmu gimana? Aku cuma gak mau ngebebanin kamu,” kata Areeza.
“It's okay. Kamu berhak minta waktu aku. Selagi aku bisa kenapa nggak? Aku gak bakal capek kalo buat kamu, karena kamu obat capeknya aku,” balas Lisa dengan manis.
Mendengar perkataan Lisa yang tak biasa itu membuat jantung Areeza berdetak lebih cepat dan pipinya juga sedikit memanas.“Diajarin siapa gombal kayak gitu?” tanya Areeza sembari menjawil hidung mancung Lisa.
“Gak lagi gombal ih, ini seriusan!”
Lelaki itu terkekeh sedikit, lalu kembali berkata. “Sekali lagi makasih, udah mau ngertiin aku.”
“Tapi aku tetep mau break sama kamu. Bisa ya? Kita coba biasain diri, Lis.” Areeza tersenyum kecut.
Lisa yang awalnya sudah sumringah, kini kembali menyeluruhkan bahunya ke bawah dan menatap Areeza tanpa kata. Ia sudah tak mengerti lagi harus bersikap bagaimana.
Lelaki di depannya itu berdiri, mengelus pucuk rambutnya dengan lembut dan melenggang pergi meninggalkan Lisa di sana sendiri.Tak butuh waktu yang lama untuk air mata gadis itu turun kembali. Ia menatap sendu kepergian kekasihnya dan menikmati setiap isak tangis yang ia keluarkan.
***
Sudah seminggu lamanya Areeza dan Lisa tidak berhubungan maupun berkomunikasi. Gadis itu benar-benar menuruti perkataan Areeza seminggu yang lalu. Mereka hanya sering berpapasan di lorong kelas tanpa adanya interaksi, bahkan senyum saja tidak.
Untuk saat ini mereka tengah sibuk masing-masing. Areeza yang sibuk untuk mempersiapkan ujiannya menuju Oxford, dan Lisa yang sibuk dengan program kerjanya serta kini ia tengah mengejar nilai agar ia bisa mengikuti sistem kredit semester tahun depan.
Kini Mika dan Lisa melangkahkan kakinya menuju kantin. Perutnya minta diisi usai pembelajaran fisika yang membuat mereka mual.
Mika sudah mengerti permasalahan yang dihadapi Lisa saat ini. Pada waktu Lisa murung saja di kelas, gadis itu langsung memaksa Lisa untuk bercerita. Ia tak bisa hanya melihat sang sahabat diam-diam saja lesu serta lempeng. Seminggu ini juga Mika tidak berinteraksi dengan Darez, ia sengaja mengikuti jejak Lisa agar Darez juga paham dengan apa yang ia maksud, agar Darez juga berpikir mengapa Mika kini tak mengejar dirinya lagi. Malah beberapa akhir ini Abra yang semakin dekat dengan Mika. Gadis itupun menerimanya dengan senang hati.
Abra adalah sosok yang rendah hati dan sedikit humoris. Ia sangat berbakat untuk menghibur Mika. Ya, pada intinya mereka satu frekuensi.
“Mika, mika!” seru seorang gadis dari arah belakang mereka berdua.
“Hah? Kenapa?” tanya Mika sedikit kaget.
“Lo buruan deh, ke lapangan. Ditungguin Abra, tuh,” kata gadis tak dikenal tersebut.
“Hah? Ngapain? Males ah, dia aja suruh ke sini,” elak Mika malas. Tumben sekali Abra memintanya untuk menghampiri, padahal biasanya Abra yang selalu menghampirinya terlebih dahulu.“Udah ah, buruan ke sana,” ucap gadis itu lagi dan langsung melenggang pergi.
“Samperin aja, Mik, siapa tau penting,” celetuk Lisa.
“Ayo sama lo,” pinta Mika dan diangguki oleh Lisa. Alhasil, mereka berdua melenggang meninggalkan kantin guna menghampiri Abra di lapangan.
Sesampainya di sana, suara sorakan orang-orang menyeruak di telinga Mika dan Lisa. Mereka semua melingkari lapangan dengan Abra yang ada di tengah-tengah lapangan dengan membawa sebuket mawar merah yang indah.
“Will you be my girlfriend, Mika?”
Deg. Sial! Maksud Mika bukan sekarang.
Gadis itu terdiam kaku kala melihat Darez yang berdiri sedikit jauh di belakang Abra. Tetapi, dengan lantang gadis itu menjawab.
“Gue mau.”
.
.
.
.
.VOTE & KOMEN!
TBC!Sengaja alurnya aku buat cepet ya, bentar lagi mau selesai soalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AREEZA [END]
Teen FictionAreeza Gilang. Cowok yang diberi julukan prince of school itu menjabat sebagai kapten futsal di SMA Dermaga. Gayanya yang slengean dan jiwanya yang humoris itu mampu menghipnotis para gadis di sekitarnya, terkecuali sang ketua cheers. Ia sudah hampi...