4. Garis Batasan

2.2K 285 5
                                    

Rasanya seperti baru saja bangun dari tidur panjang, tapi perasaan dari sisa kejadian semalam membuatku agak tidak enak. Aku bangun dan melihat teman-teman yang lain. Semua orang berada dikoridor pagi itu, kebingungan dan sebagian besar syhok akan apa yang mereka saksikan tadi malam.

Aku berharap kejadian yang menimpa Heoyul hanyalah mimpi dan saat aku bangun, aku akan berada di kamar asrama. Tapi kenyatan lebih jahat dari itu. Kami harus menerima bahwa kejadian tadi malam nyata, dan Heoyul benar-benar telah tiada.

"Tidak, Yul yang malang."

Bisa kulihat Eunha menatap kosong kelantai, bergumam dan tidak percaya bahwa salah satu teman dekatnya telah tiada dan harus berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan.

Aku mungulum bibirku, menyembunyikan ketakutan. Apa yang Heoyul alami tadi malam sungguh mengerikan. Matanya berubah putih dan dia seakan kehilangan kontrol akan dirinya sendiri.

"Jiwon, kamu baik-baik saja?" tanya Donghyun sembari membantuku berdiri. Aku mengangguk pelan, tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Entah kenapa aku merasakan tenggorokanku serak.

Suara dari speaker kembali terdengar ketika notifikasi dari game muncul. Semuanya bergerak cepat mengambil ponsel mereka masing-masing. Donghyun membungkuk untuk memungut ponselku dan memberikannya padaku. Lalu kami memeriksa pesan baru yang muncul.

-sebelum pemungutan suara terakhir ditutup, polisi menggunakan keahlian mereka-

-Choi Joo Woon dieksekusi oleh mafia. Choi Joo Woon adalah mafia-

-semua peserta indentifikasi mafia dan mulai memilih-

Aku mendongkak dan saling menatap dengan yang lain. Dan kami tidak bisa menemukan Joowoon diantara banyak orang yang ada dikoridor saat itu.

"Dimana Joowoon?" tanya Yoonseo. Tapi tidak ada yang menjawab. Semua kebingungan dan masih tampak syhok.

Kejadiannya terlalu tiba-tiba. Malam biasa seketika berubah menjadi begitu mengerikan. Tidak ada yang siap untuk itu.

"Siarannya," ujar Wooram. Menarik perhatian kami. "Siapa yang bertanggung jawab atas siaran itu?" Wooram balik menatap kami semua, dan kemudian meledakan suara keras penuh kemarahan. "Kenapa itu bahkan menyala?"

Aku melihat satu persatu wajah disana. Dan ekspresi bingung bercampur takut, mendominasi wajah sebagian besar orang.

"Studionya dilantai dua," cetus Hyunho. Dia menoleh padaku dan Donghyun, lalu mengajak kami agar ikut dengannya, "mari kita lihat. Ayo."

Donghyun menoleh padaku dan memberi isyarat untuk ikut, dia memegang tanganku dan membawaku pergi menuju lantai dua dimana ruang siaran berada.

Beberapa orang pergi bersama kami, yang lain tinggal  dan tetap berada disekitar kamar asrama.

Donghyun maju lebih dulu dan memberi isyarat sebelum dia membuka pintu lebar-lebar dan yang lain langsung menerobos masuk. Bermaksud memergoki siapa pun yang ada di ruang siaran saat itu, tapi, tidak ada siapa pun di sana. Ruang siaran itu kosong.

"Apa-apaan? Lalu siapa yang membuat siaran itu?" Aku menatap yang lain bertanya-tanya. Tapi mereka tampak sama bingungnya.

"Apakah mungkin ada ruang siaran lain?" tanya Jisoo.

"Tidak," jawab Hyunho. "Tidak ada ruang siaran lain dalam panduan."

Perkataan Hyunho membuat kami mengerang. Wooram bahkan sampai menendang kursi dengan kesal. Donghyun menepuk dinding dengan keras dan mengumpat. Sementara Jisoo langsung memeluk Yoojoon.

Sebuah pesan dari Junhee kemudian mengambil alih perhatian kami. Si ketua kelas itu menyuruh kami untuk segera keluar dari gedung dan kami akan pergi meninggalkan pusat retret.

Jisoo berlari lebih dulu keluar dari ruang siaran, suaranya panik mengajak yang lain. Kami juga segera mengikutinya dan bertemu dengan teman-teman yang lain dilobi. Kemudian berbondong-bondong keluar dari dalam gedung.

Namun, saat beberapa orang hampir mencapai jalan, suara dari speaker kembali terdengar, menyampaikan peringatan bahwa kami tidak bisa melewati garis batasan.

"Kita tidak bisa pergi?" Aku memegang lengan Donghyun panik. Menatap kearah speaker yang terus memberi peringatan.

"Sial, apa yang akan kita lakukan?" Donghyun bertanya pada Hyunho.

Hyunho mengerang, lantas melemparkan pertanyaan pada Junhee yang berada paling dekat dengan garis bersama Somi.

"Junhee, bagaimana?" tanya Hyunho, meminta pendapat Junhee sebagai ketua kelas dan pemimpin diantara kami.

Junhee memandang teman-temannya. Aku bisa melihat bahwa dia tampaknya juga kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu aku melihat layar ponsel yang menampilkan warning terus menerus.

"Sial, apa-apaan ini?"

"Teman-teman, dengar. Tunggu disini sebentar," seru Junhee. Dia berbalik dan mewanti-wanti kami.

"Apa itu batasannya?" Aku bertanya pada Donghyun. Menuding ke arah garis di dekat pohon tepi jalan.

"Sepertinya," jawabnya dengan ekspresi meringis.

"Untuk apa!" seru Sanghwan memprotes.

"Ada yang aneh," kata Junhee.

"Kamu percaya omong kosong ini? Sial! Aku tidak peduli. Aku pergi!" Kemudian Sanghwan berlari melewati garis, tidak memperdulikan cegahan yang lain.

"Kita harus pergi juga." Aku menarik Donghyun, ingin ikut pergi. Aku tidak tahan berada di tempat ini dan melihat orang lain mungkin akan mengalami hal serupa seperti Heoyul semalam.

"Jiwon tunggu!" cegat Junhee tepat sebelum aku dan Donghyun  melangkah melewati garis. Saat itu Hyunseok melewati kami dan pergi menyusul Sanghwan yang telah berada diluar garis. Namun, suara dari speaker yang kembali terdengar menghentikan Sanghwan dan Hyunseok yang hendak melarikan diri.

Sesuatu terjadi lagi. Baik Hyunseok maupun Sanghwan mulai berteriak. Perilaku mereka sama seperti Heoyul sebelum Heoyul mulai bertindak diluar kendali.

Aku merasakan suasana seketika hening, bahkan suara peringatan dari speaker terabaikan. Jantungku berpacu cepat ketika Hyunseok dan Sanghwan berhenti berteriak kesakitan dan menoleh ke arah kami, dan saat itulah aku bisa melihat mata putih itu lagi. Mata yang sama seperti mata Heoyul. Dan apa yang terjadi selanjutnya, memecah suara histeris semua orang. Ketika Hyunseok dan Sanghwan mulai saling membenturkan kepala dengan keras hingga berdarah. Seolah tidak memperdulikan jika kepala mereka akan pecah.

Tiba-tiba, aku menjadi gemetar, sambil menatap garus putih yang hanya beberapa senti lagi diujung sepatuku. Aku luruh, dengan jantung berdetak cepat, rasanya hampir seperti nyaris kehilangan oksigen.

"Jiwon?"

"Kamu baik-baik saja?"

"Ayo kembali ke dalam."

Aku tidak tahu siapa saja yang baru saja bicara. Terlalu syhok untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Aku nyaris membunuh Donghyun juga diriku sendiri.

To Be Continued

ɴɪɢʜᴛ ʜᴀs ᴄᴏᴍᴇ ⇴ᴏᴄ ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang