13. Sebuah Mimpi

1.5K 230 3
                                    

Aku membuka mata saat mendengar suara pintu tertutup, lantas melirik dan refleks bangun dari posisi berbaring saat melihat Kyungjun lah yang masuk ke dalam uks.

"Kamu sakit?" tanya Kyungjun. Dia mengambil kursi dan duduk di dekat ranjang tempatku duduk.

"Sedikit pusing," jawabku singkat. Aku menatapnya penuh selidik. "Untuk apa kamu datang ke sini?" tanyaku. Aku melihat Kyungjun mendesah pelan selepas pertanyaan barusan.

"Kamu memihakku kemarin dan memilih nama Park Wooram, padahal kuyakin Kim Junhee dan yang lain sudah berusaha memanipulasimu untuk memilihku..."

"Aku hanya berpikir bahwa tidak rasional memilih hanya karena Wooram bersikap lebih baik darimu. Belajar dari Joowon, dia orang yang kikuk tapi mafia."

"Kamu memang cerdas."

Aku mendengus remeh. "Terima kasih untuk pujiannya," balasku.

"Jadi, apakah kamu tidak memiliki seorang pun yang ducurigai?" tanya Kyungjun. Membuatku seketika menatap tajam.

"Kamu masih melanjutkannya? Aku sudah bilang berhenti Ko Kyungjun." Aku menatapnya dengan peringatan

"Aku hanya bertanya."

Aku mengangguk. "Ya, dan setelah kamu tau, kamu akan menjadikannya target dan memaksa orang-orang memilihnya. Tidak, aku tidak akan membiarkanmu."

"Kita terjebak, Jiwon. Menemukan mafia adalah prioritas..."

"Tidak," selaku, aku membalas tatapan Kyungjun tepat dan serius. "Prioritasmu adalah menyelamatkan dirimu sendiri. Maka tidak peduli siapa pun yang mati, asal kamu selamat."

"Shin Jiwon!"

Aku membelakak saking terkejutnya dengan bentakan tiba-tiba Kyungjun. Alisku berkerut tidak suka saat melihatnya marah. Tapi, sedetik kemudian, Kyungjun tampak merasa bersalah karena telah membentak.

Aku tidak salah lihat kan?

"Maaf."

Aku mengulum bibirku. Mengawasi Kyungjun saat dia menunduk diam. Ekspresiku perlahan melunak dan aku mulai bicara padanya lagi. "Kyungjun. Aku tahu kamu hanya ingin selamat dari permainan mematikan ini, tapi bukan begitu cara menyelesaikannya. Tidak semua harus dengan kekerasaan dan ancaman. Bekerja sama, itulah yang harus kita lakukan." Aku berusaha memperhalus nada suaraku sekarang, berbicara padanya tanpa sarkasme.

Kyungjun akhirnya mengangkat wajahnya lagi, dia balik menatapku. "Bagaimana jika orang yang kamu ajak kerjasama ternyata adalah mafia?"

Aku menipiskan bibir dengan alis berkerut dalam. Perkataan Kyungjun memang benar. Aku hanya yakin tentang Jisoo, Yoojoon dan Junhee, yang lainnya masih abu-abu. Tapi meski demikian, bukan berarti cara Kyungjun benar.

"Kalau begitu, bagaimana dengan Seungbin dan Jinha? Apa kamu yakin dengan mereka?" tanyaku balik.

Kyungjun bersandar pada kursi sebelum menjawab, "tidak. Aku tidak percaya siapa pun," akunya.

"Jadi kamu tidak percaya aku juga?"

Kyungjun menggeleng. Sejenak, kupikir dia baru saja membenarkan pertanyaanku, tapi apa yang dia katakan selanjutnya benar-benar mengejutkan.

"Tidak, kamu satu-satunya yang aku percaya bukan mafia."

Aku tidak pernah mengira bahwa Ko Kyungjun akan menaruh kepercayaan padaku lebih dari dua temannya. Aku tidak mengerti, apa yang membuatku berbeda untuknya?

"Bagaimana kamu bisa yakin? Bagaimana jika aku sungguh benar-benar mafia?"

"Tidak, kamu bukan," sangkal Kyungjun.

Aku menghela napas berat. "Baiklah, terserah padamu."  Aku pasrah. Berdebat dengan Ko Kyungjun tampaknya tidak akan berakhir jika aku tidak berhenti lebih dulu.

"Jiwon? Kamu di dalam?"

"Kenapa mengunci pintunya?"

Aku langsung melotot ke arah Kyungjun setelah mendengar sahutan dari seseorang di luar pintu uks. "Kenapa kamu menguncinya?" marahku. Tapi Kyungjun hanya mengedikan bahu acuh sambil bersedekap dada. Dia duduk dengan santai dan mangacuhkan pintu yang knopnya terus diputar serta suara kentukan pintu yang terus terdengar.

"Buka sekarang," perintahku.

"Aku mendengar suara Kim Junhee. Aku tidak ingin melihat si brengsek itu," balas Kyungjun. Dia tetap duduk diam di kursinya dan menggoyangkan kaki dengan santai.

Aku mencibir kesal. "Ada Yoonseo juga diluar. Dan jika kamu tidak ingin melihat Junhee, tutup saja matamu." Aku berkata kesal. Aku hendak turun dari ranjang dan pergi membukakan pintu untuk Junhee dan Yoonseo, tapi Kyungjun tiba-tiba saja berdiri, menghentikan tindakkanku.

Aku mengerutkan alis memandangnya yang lebih tinggi dariku. Menatapnya heran.

"Kamu duduk saja," katanya, lalu pergi membukakan pintu, mengungkap tidak hanya Junhee dan Yoonseo, tapi juga Jungwon, Nahee dan Hyunho.

"Sedang apa kamu di sini?" tuding Hyunho pada Kyungjun, tapi Kyungjun tidak membalasnya dan langsung berlalu keluar begitu saja.

"Jiwon, kamu baik-baik saja?" tanya Yoonseo setelah Kyungjun benar-benar pergi. Dia dan yang lainnya berjalan menghampiriku.

Aku tersenyum kecil, mengangguk. "Hanya sedikit pusing. Aku akan baik-baik saja setelah berbaring sebentar."

"Kalau begitu berbaringlah," kata Junhee. Dia bergerak ke sisi sebelah ranjang, memegang kedua bahuku dan menuntunku agar berbaring. Aku mengejrap, lantas melirik ke arah Yoonseo yang diam saja. Aku tidak tahu apa yang gadis itu pikirkan, tapi Yoonseo benar-benar diam setelah perlakukan Junhee terhadapku.

"Apa kamu sudah minum obat?" tanya Nahee.

"Sudah." Aku tersenyum pada Nahee, memberi isyarat bahwa dia tidak perlu khawatir.

"Kamu tampak pucat, Jiwon," komentar Hyunho. "Kupikir kamu terlalu banyak pikiran sejak Donghyun..."

Aku buru-buru menghentikan Hyunho. "Jangan lanjutkan," ucapku. Aku mengambil napas dalam. "Aku berusaha tidak memikirkannya, jadi tolong jangan menyinggung tentang itu lagi."

"Maaf."

"Tidak apa-apa."

"Kupkir Jiwon sangat butuh istirahat. Sebaiknya kita tidak menganggunya," ujar Jungwon.

"Ya," tanggap Junhee. "Kamu istirahatlah di sini. Aku akan datang lagi untuk membangunkanmu nanti," kata cowok itu lembut penuh perhatian, tapi aku justru merasa terbebani, apa lagi saat kembali menemukan Yoonseo masih diam, tapi sekarang ekspresi wajahnya lebih jelas, tampak muram.

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab Junhee.

Mereka kemudian pamit dan mulai berjalan keluar dari uks. Aku diam-diam merutuk sebelum membalikan tubuh ke samping dan mulai memejamkan mata dan jantuh tertidur.

Tiba-tiba saja, aku berada di dalam bus. Dalam suasana yang sama saat kami dalam perjalanan menuju pusat retret. Aku duduk di samping Donghyun seperti terakhir kali.

Suara berisik dari belakang bus terdengar, didalangi oleh Baek Eunha dan Heoyul yang berdebat tentang mafia game.

Aku mengejrap, lantas berdiri dan melihat ke arah belakang. Tapi suara keributan tiba-tiba berhenti, dan semua orang dalam bus menatap ke arahku. Itu membuatku terkejut saat yang kulihat adalah semua mata mereka berwarna putih. Aku mencoba melihat ke arah depan, tapi supir dan Park seam juga sama. Tapi kemudian, perhatianku justru tertuju ke luar bus, tidak jauh di didepan bus yang aku naiki sekarang, ada bus lain, bahkan tampilannya serupa. Aku beralih melihat kaca belakang, dan menemukan bus yang sama.

"Jiwon."

Aku terpenjat saat tanganku tiba-tiba dicengkram erat dan ketika aku menoleh, yang kutemukan justru sosok Donghyun yang tidak lagi memiliki mata dan darah segar terus merembas keluar mengotori wajahnya. Aku berteriak nyaring, berusaha melepaskan tanganku dari cengkraman Donghyun tapi justru jatuh kebelakang dan tiba-tiba terbangun dan berada di uks lagi.

To Be Continued

ɴɪɢʜᴛ ʜᴀs ᴄᴏᴍᴇ ⇴ᴏᴄ ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang