21 | Airlangga

1.2K 121 27
                                    

"Tapi, gue lagi cuti. Gue lagi honeymoon. Gila lo, ya?!"

Kaiya yang sedang tidur seketika tersentak saat suara Aiden terdengar cukup keras. Keningnya mengernyit merasakan pening akibat bangun tidur karena kaget. Dia mencari keberadaan Aiden yang terdengar sedang marah-marah entah pada siapa.

Bayangan Aiden terlihat di balkon kamar. Pria itu jalan mondar-mandir dengan ponsel di telinganya, dan satu tangannya yang bebas berkacak pinggang. Walaupun tidak bisa melihat ekspresi Aiden, Kaiya tahu kalau suaminya itu sedang emosi.

Sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya membuat Kaiya mengalihkan atensinya dari Aiden. Dia mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersandar pada headboard, lalu mengambil ponselnya dari atas nakas dan memeriksa pesan yang ternyata dari Valerie.

Perhatian Kaiya yang sedang berbalas pesan dengan Valerie teralih ke arah pintu balkon yang digeser. Dilihatnya muka Aiden yang tertekuk serta merah padam. Jelas sekali kalau suaminya itu sedang marah. "Kenapa, Mas?"

Aiden berjalan menuju kasur dan duduk di samping Kaiya yang masih bergelung selimut. "Barusan aku ditelpon sama orang kantor. Aku disuruh pulang karena ada masalah urgent soal konser yang harus diselesaikan sekarang juga. Bang Yoga nggak bisa handle, jadi harus aku langsung yang selesaiin."

Badan Kaiya menegang mendengar itu. Ada rasa tidak rela kalau harus pulang ke Jakarta sekarang. Mereka baru sampai di Labuan Bajo kemarin lusa. Namun, rasanya egois juga kalau dia tidak mau mengerti kepentingan pekerjaan Aiden. "Te—terus?"

"Yaudah, aku harus pulang hari ini. Tiketnya udah dibeliin juga sama orang kantor."

"Flight jam berapa?"

Aiden menyalakan ponselnya untuk melihat penunjuk waktu di sana. "Jam sepuluh. Masih ada waktu tiga jam lagi. Tapi, aku harus siap-siap sekarang."

"Hah? Jam sepuluh? Aku belum beres-beres sama sekali." Kaiya mendadak panik karena barang-barang mereka masih sangat berantakan di kamar. Dia sudah hendak turun dari kasur, tapi dicegah oleh Aiden.

"Yang pulang cuma aku. Kamu di sini dulu aja."

"Hm?" Kaiya mengernyit tak mengerti.

"Kantor cuma beliin satu tiket pesawat buat aku. Jadi, kamu nggak bisa ikut pulang," jelas Aiden sambil merapikan rambut Kaiya yang berantakan setelah bangun tidur. "Kamu jalan-jalan dulu aja di sini. Kamu kan yang kepengin banget liburan di sini. Paket liburan kita masih ada lima hari. Sayang kalau nggak dipakai."

Kaiya terdiam sejenak untuk mencerna kata-kata Aiden. "Maksudnya kamu mau ninggalin aku di sini sendiri?"

"Maaf. I have no choice," sesal Aiden seraya mengusap kepala Kaiya dan menatap istrinya lekat-lekat. Dia kemudian beranjak dari kasur dan melangkah menuju meja untuk merapikan barang-barang yang perlu ia bawa. "Bajuku gimana ya, Ya? Aku nggak tega kalau kamu bawa semua kopernya, tapi aku nggak ada waktu buat packing dulu."

Kaiya meneguk saliva dengan susah payah. "Kamu udah mandi?"

"Belum, mau beresin ini dulu sebentar, baru habis itu mandi. Terus langsung berangkat ke bandara. Nggak tau deh keburu apa nggak. Milih jadwalnya bangsat banget si Astri. Udah ngasih taunya mendadak, milih jadwal pesawat juga mepet banget." Aiden masih merapikan barang-barangnya sambil menggerutu.

"Udah sana mandi," titah Kaiya yang sudah berdiri di samping Aiden. "Ini biar aku yang beresin. Bajumu juga nanti aku beresin sedapetnya."

Aiden menoleh. "Beneran?"

Kaiya hanya menjawab dengan anggukan tanpa menatap Aiden. Tangannya masih sibuk merapikan barang-barang Aiden.

"Makasih, Ya. Aku mandi dulu." Aiden berlalu ke kamar mandi setelah menyempatkan diri untuk mencium pelipis Kaiya sekilas.

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang