As I said yesterday, gonna double update this week. so here we go!
***
Pagi ini, Kaiya kembali melihat suaminya duduk di depan pusara Kyra dengan bahu merosot lemah. Sesekali, tampak bahu itu bergetar, tanda Aiden tengah terisak dalam doanya.
Sudah berulang kali Kaiya melihatnya, tapi kali ini Kaiya merasakan hal yang berbeda. Rasa nyeri di hatinya tidak pernah sekuat ini hingga membuatnya kesulitan bernapas.
Nyeri yang dirasakan saat ini bukan hanya karena sedih dan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga Kyra, tapi juga ada kemarahan yang membuatnya ingin menarik Aiden dari sana dan mengatakan kalau dia sudah lelah melihat pemandangan itu. Menurutnya, Aiden sudah sangat berlebihan.
Berkabung itu wajar. Kaiya pun masih merasa kosong karena kehilangan Kyra, tapi bukan berarti dia harus meratap dan menangis di depan makam Kyra setiap hari.
Sudah hampir empat bulan sejak Kaiya keguguran, seharusnya masa berkabung sudah lewat dan mereka kembali menata hidup seperti sebelumnya. Aiden selalu mengatakan hal itu padanya, tapi Aiden juga yang melanggarnya.
"Nduk Aya ...."
Kaiya tersentak, lalu memutar badannya ke arah Bude Ninis yang baru saja memanggilnya. "Ya, Bude?"
"Sarapannya udah siap. Sana kalian makan, gih. Terus ini Bude mau belanja dulu, ya. Mamang sayurnya udah dateng."
"Iya, Bude. Uang buat belanjanya masih ada?"
"Masih, kok."
Kaiya manggut-manggut paham. "Oh iya, Aya titip beliin buncis sama asem jawa ya, Bude. Aya mau masak asem-asem daging hari ini."
"Iya, Nduk. Ada lagi?"
"Nggak ada, Bude."
"Yaudah, kalau gitu, itu Ayi disuruh masuk, ajak makan. Udah dari Subuh dia di sana."
"Iya, Bude."
"Bude udah bilangin nggak baik kayak begitu tiap hari di depan makam, tapi nggak mau dengerin tu anak. Wong ya 100 harinya udah lewat, kok masih begitu. Bikin gelap jalannya Kyra. Bikin kamu sedih juga."
Kaiya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Bude. Kan, memang Mas Ayi kepengin banget punya anak. Ketika ternyata Aya hamil, tapi ternyata bayinya udah meninggal, Mas Ayi pasti sedih banget."
"Harusnya, kamu yang lebih sedih karena kamu ibunya. Bude mau laporan sama Ibu kalau Ayi masih begitu terus."
"Bude, nggak usah. Nanti Mama jadi kepikiran."
"Biar Ayi-nya dinasihatin sama Ibu atau Bapak."
"Jangan, nanti Mas Ayi jadi makin sedih. Nanti biar Aya aja yang bilang sama Mas Ayi."
Bude Ninis mendesah pelan. "Yaudah, terserah kamu. Bude cuma kasihan sama kamu. Ayi udah berlebihan di sana. Dia kayak nggak mikirin perasaan kamu."
Muncul gelenyar perih pada dada Kaiya. Ternyata, memang bukan cuma dirinya yang merasa tingkah Aiden berlebihan. "Aya insya Allah nggak apa-apa. Yaudah, Bude belanja dulu, gih. Keburu Mamang sayurnya pergi."
Bude Ninis pun mengangguk dan pergi meninggalkan Kaiya untuk berbelanja.
Sepeninggal Bude Ninis, giliran Kaiya yang beranjak menghampiri Aiden dan mengajaknya untuk sarapan. Selama di meja makan, keduanya makan dengan tenang. Terlalu tenang hingga lebih pantas disebut sepi. Mereka berdua seperti pasangan yang sedang bertengkar.
"Mas, kamu akhir-akhir ini jadi pendiem."
Sejak rutin konsultasi dengan Lingga, perasaan Kaiya memang jauh lebih tenang dari sebelumnya, tapi justru Aiden yang jadi lebih pendiam. Dan, Kaiya mulai tidak tahan dengan sikap Aiden itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Us, Then? ✓ [Completed]
FanfictionApa yang akan kalian lakukan jika artis yang kalian suka tiba-tiba mengajak kalian pacaran, bahkan menikah? Hal itu dialami oleh Kaiya yang mengidolakan Aiden, yang kebetulan kakak kelasnya saat SMA dulu, dan pria itu tiba-tiba mendekatinya dan meng...