39 | Apa Salahku?

1.2K 139 32
                                    

Serious note.
Sori sebelumnya, tapi tbh aku agak kecewa sama beberapa respons soal foto yang kupasang untuk "pura-puranya" jadi foto artikel Aiden di chapter lalu.

Asli, I really don't get it. Why? Perkara foto aja pada ribut. I already said that I randomly picked the pict from pins, then it is. I have the rules here, so it's up to me mau aku apakan work ini. Again aku bilang, kalau nggak suka, nggak usah baca nggak apa2. You can leave 🙏🏻

Aku tau pembaca di sini mostly (atau bahkan mungkin semuanya) datang ke work ini karena jenselle-nya. But I'll be more grateful kalau kalian lebih menghargai isi ceritanya, daripada cuma sekadar jenselle-nya. Aku nggak akan memberi ruang di sini untuk pembaca2 yang baper cuma karena foto, apalagi perang shipper. It's been 2024, guys. Come on! Cuma foto aja pada ribut 🤦🏻‍♀️

Lagipula, face claim itu cuma buat memudahkan aku untuk membangun cerita. Nothing related sama real life-nya idol2 itu. Kalau aku memang mau, aku bisa aja ganti face claim saat ini juga, biar nggak usah ada face claim sekalian. Atau kalau kalian mau membayangkan karakter2 di sini dengan orang lain, aku juga nggak masalah. Aku udah tulis itu di details sejak pertama kali cerita ini di-up.

Jadi kalau masih ada yang ribut perkara shipper ini shipper itu, I'll stop the story here. I'm serious.

***

Mobil Aiden memasuki kawasan PIK dan terus berjalan menuju parkiran yang menghadap ke pantai. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi sehingga kawasan itu belum begitu ramai oleh orang-orang.

Kaiya menoleh saat Aiden menghentikan mobilnya. "Mau ngapain ke sini? Aku kan mau ke resto."

"Kamu nggak usah ke resto dulu hari ini, ya." Aiden turut menoleh dan mempertemukan tatapan mereka sambil membuka sabuk pengamannya. "Wartawan pasti udah ramai di sana."

Kaiya terdiam sejenak karena dia juga sempat berpikir seperti itu. Tapi, dia sudah cukup lama tidak ke Sendok Kayu. Workshop di Tokyo cukup menyita waktunya beberapa hari sebelum ini. "Ada yang perlu aku cek di resto. Aku udah lama banget nggak ke sana."

"Suruh Valerie kirim aja. Atau suruh dia ke rumah. Wartawan—" Aiden menghentikan kalimatnya karena terdistraksi dengan derit ponsel Kaiya yang terus berbunyi. Ponsel tersebut diatur dalam mode senyap, tapi bunyi getarnya terdengar cukup jelas dalam ruang sempit di mobilnya yang sunyi itu, meskipun benda tersebut berada di dalam tas. "Handphone kamu bunyi terus dari tadi, Ya."

"Biarin. Paling Mas Karel," jawab Kaiya yang benar-benar tampak tak acuh dengan ponselnya.

"Nggak mau dijawab dulu?"

Kaiya menggeleng. "Lagi nggak mau ngomong sama siapapun."

Aiden tertohok dengan kalimat istrinya. Dia berdeham pelan untuk melegakan tenggorokannya. "Tapi, kita perlu ngomong."

Kepala Kaiya mengangguk. Wanita itu lalu memutar badannya sampai menghadap ke depan. "Ngomong aja."

Aiden turut memutar badannya menghadap depan. Satu helaan napas dikeluarkan oleh Aiden. "Aku nggak tau harus berapa kali lagi aku harus minta maaf ke kamu. Tapi, kali ini aku minta maaf lagi ke kamu dan akan terus begitu sampai kamu maafin aku. Aku juga mohon banget kamu bisa percaya sama aku. Cuma kamu yang aku punya sekarang, Ya. Keluargaku bahkan nggak percaya sama aku."

Kaiya menggigit bibir bawahnya. Adegan Aiden mengiba di kaki sang mama kembali terlintas di benaknya. Pasti sangat menyakitkan tidak dipercaya oleh keluarga, terutama ibunya sendiri. Kaiya bahkan tidak berani membayangkan kalau itu terjadi padanya.

Namun, kejadian tadi tidak akan pernah ada kalau Aiden tidak membuat masalah. Dan, masalah itu cuma bersumber pada satu orang. Nabila. Baik masalah yang dulu, ataupun sekarang.

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang