51 | Love & Hate Brothership

988 119 19
                                    

Kenapa sih pada marah2 sama aku? 😩
Padahal di awal cerita aku udah kasih warning kalau cerita ini angst-nya kenceng 😔

***

Suara dering telepon yang tak kunjung berhenti membuat Aiden menggeram kesal karena sudah mengganggu tidurnya. Dengan gerakan malas-malasan, tangannya terulur untuk meraih ponsel yang berada di atas nakas, lalu menggeser ikon hijau dan menjawab panggilan tersebut dengan menempelkan ponsel tersebut ke telinga begitu saja.

"Haloo?" sapa Aiden dengan suara parau khas orang bangun tidur dan mata yang masih terpejam.

"Lagi di rumah Bogor, nggak?" Suara berat khas pria dewasa terdengar dari seberang sambungan.

"Iya."

"Bukain pintu. Aku di depan."

"Ngapain, sih, Mas? Masih pagiii."

"Udah siang ini. Bangun cepet."

Aiden sekali lagi menggeram dan terpaksa membuka matanya. Dengan mata agak menyipit, ditiliknya penunjuk waktu di ponselnya. Sudah pukul sembilan ternyata.

Pria itu mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Yaangg! Tolong bukain pintu buat Mas Angga di depan. Aku mau ke kamar mandi dulu."

Merasa tidak ada jawaban dari panggilannya, Aiden turun dari kasur dan berjalan keluar kamar. "Yaaangg! Ay—shit!"

Aiden mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi, dia memanggil Kaiya tanpa sadar. Entah ini sudah keberapa kalinya. Yang jelas, sejak dia menyerahkan berkas perceraian pada Kaiya tempo hari, dia jadi sering memanggil nama istrinya itu tanpa sadar.

Sepertinya, dia terlalu merindukan wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya itu.

Suara bel pintu terdengar saat Aiden hendak berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Pria itu baru ingat kalau ada kakaknya yang menunggu di depan rumah.

Dengan langkah gontai, Aiden menuju pintu dan berniat untuk mengusir kakaknya agar segera pergi. Dia sedang tidak ingin menerima tamu.

Wajah tampan Airlangga Pandu Gumilang langsung menyapa Aiden begitu pria itu membuka pintu. "Jam segini baru bangun. Kayak bujangan aja."

"Ngapain, sih, pagi-pagi udah sampai sini? Pulang sana. Aku lagi nggak terima tamu," gerutu Aiden malas sambil menyenderkan kepalanya di pinggiran pintu.

Airlangga menggeser paksa badan adiknya dan menyelonong masuk ke rumah, meski belum diberi izin oleh sang empu.

"Mas Angga ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Aiden lagi, mengikuti kakaknya yang masuk lebih dalam ke arah ruang keluarga dengan perasaan dongkol.

"Mau ada acara nanti sore. Daripada bingung luntang-lantung nggak jelas, check in hotel juga belum bisa, yaudah ke sini aja. Mumpung punya adik yang punya mansion di sini."

Aiden berdecak. "Mansion dari mananya?"

Gelak pelan meluncur dari bibir Airlangga. "Kamu ngapain di sini sendirian? Kaiya di Jakarta, kan?"

Aiden berdeham karena tenggorokannya mendadak terasa kering. "Habis ada manggung di Botani Square kemarin. Mau balik ke Jakarta, udah terlalu capek."

Airlangga berdecak kecil berkali-kali sambil menggelengkan kepalanya ketika mendapati ruang keluarga Aiden yang cukup berantakan. Kaleng-kaleng bir dan kertas berserakan memenuhi meja rendah di ruangan itu. Pemandangan yang agak mengejutkan karena Airlangga hafal betul karakter adiknya yang sangat cinta kerapian.

"Katanya capek. Masih sempet mabuk-mabukan aja," ejek Airlangga. Chef tampan itu terkesiap saat tangannya tiba-tiba ditarik oleh sang adik. "Ngapain, heh?!"

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang