24 | Rumah Sakit

1.1K 152 22
                                    

Mata Kaiya terbuka saat ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Dia cepat-cepat mengambil benda itu, berharap Aiden yang menghubunginya. Tapi, harapannya pupus saat bukan nama Aiden yang muncul, melainkan nama Karel.

Meski begitu, Kaiya tetap menerima panggilan tersebut. Dia memerlukan pertolongan kakaknya saat ini. "Halo, Mas."

"Halo, kok, lemes gitu suaranya?"

"Mas Karel di mana?" tanya Kaiya tanpa menjawab pertanyaan Karel.

"Mas lagi di jalan ini mau ke Sendok Kayu. Kamu di sana, kan? Kita lunch bareng, yuk."

"Mas ..., Mas Karel ke rumahku aja, ya. Tolongin aku," pinta Kaiya dengan suara parau.

"Hah? Tolongin apa? Kamu kenapa, Ya?" Aiden terdengar panik di seberang sana.

"Aku jatuh dari tangga. Kakiku nggak bisa digerakin. Sakit banget. Tolongin aku, Mas."

"Astaga, kok bisa sih, Yaa?! Yaudah, kamu tunggu dulu. Mas ke sana sekarang."

"Iya, nanti kalau udah sampai lobi, telepon aku lagi. Biar aku ngomong ke resepsionisnya buat bukain akses buat Mas."

"Iya, masalah itu gampang. Sekarang tutup dulu. Tunggu Mas bentar."

Kaiya meletakkan ponselnya begitu Karel memutus sambungan telepon mereka. Kepalanya juga turut digeletakkan ke lantai lagi dengan menjadikan tangannya sebagai bantalan.

Matanya kembali dipejamkan akibat rasa lelah dan sakit yang teramat sangat. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia berada di posisi seperti ini. Dia tidak bisa ke mana-mana karena kakinya tidak bisa digerakkan. Tadi dia sempat tertidur sambil menunggu kabar dari Aiden.

Namun, Aiden belum menghubunginya sampai sekarang. Mungkin, suaminya itu sudah berada di lokasi konser dan mulai sibuk dengan segala persiapannya. Kaiya tidak ingin mengganggunya.

Tidak mau terlalu memikirkan Aiden, Kaiya memilih untuk tidur lagi sambil menunggu Karel datang.

Lagi-lagi, Kaiya tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur hingga suara telepon kembali membangunkannya. Dia menerima panggilan yang berasal dari Karel itu. "Iya, Mas. Kasih handphone Mas—"

"Mas, di depan. Berapa pin pintu kamu?"

"Udah bisa naik?"

"Udah. Cepet kasih tau pin kamu."

"Ulang tahun aku."

Kaiya mendengar suara tombol keylock rumahnya yang ditekan melalui saluran telepon yang belum diputus oleh Karel. Tak lama kemudian, suara derap langkah yang tergesa-gesa mulai terdengar memasuki rumah.

"Aya! Aya!"

"Aku di kamar," jawab Kaiya setengah berteriak.

Suara langkah kaki yang tidak hanya dari satu orang terdengar mulai mendekat. Kaiya berusaha menegakkan badannya, meskipun dengan susah payah. Rasa sakitnya mulai menjalar ke seluruh badan.

"Astaga! Aya!" Karel sangat terkejut melihat keadaan Kaiya yang tergeletak di lantai, serta sebuah tangga yang juga berada di sana, menindih kaki adiknya.

Karel tidak datang sendiri. Dia datang bersama salah satu petugas apartemen yang dimintai tolong untuk membawa kursi roda. Kaiya terdengar sangat kesakitan tadi, jadi dia yakin kalau dia butuh kursi roda untuk membawa Kaiya.

Karel cepat-cepat menghampiri sang adik dan mengecek keadaannya. "Kamu nggak apa-apa?"

"Kakiku sakit, Mas."

Sang petugas apartemen menyingkirkan tangga dari kaki Kaiya dan seketika desisan ngeri keluar dari mulutnya. "Mas, kaki kirinya Mbak Kaiya udah biru."

Karel menoleh cepat dengan mata terbelalak lebar. Dia mendongak sebentar untuk melihat seberapa tinggi kemungkinan Kaiya jatuh. Plafon unit Aiden sangat tinggi, dan itu membuat Karel semakin merinding membayangkan adiknya jatuh dari jarak yang setinggi itu. "Bantu saya bawa Kaiya ke mobil ya, Pak."

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang